Terkait dengan pertanyaan ini, The United States Department of Agriculture dari Amerika Serikat
menyebut kulit beberapa buah seperti apel sebaiknya tetap dimakan, bukannya dikupas. Alasannya, pada kulit buah ini, ada banyak nutrisi sehat yang baik
bagi tubuh kita.

Di dalam kulit apel misalnya, bisa kamu temui vitamin K 332
persen lebih banyak dari buahnya, vitamin A lebih banyak 142 persen, dan
vitamin C 115 persen lebih banyak. Nggak hanya itu, kamu bakal mendapatkan 20
persen kalsium lebih banyak dan 19 persen potassium lebih banyak pada apel yang
nggak dikupas kulitnya jika dibandingkan dengan apel yang dikupas.

Hal lain yang bisa bikin pertimbangan buatmu untuk nggak
mengupas kulit buah apel, pir, atau anggur adalah kandungan seratnya yang
cukup tinggi. Kamu tahu sendiri kan kalau serat bisa bikin rasa kenyang lebih
awet sehingga kamu pun jadi nggak mudah tertarik ngemil makanan nggak sehat.
Dampaknya, kamu bisa menjaga berat badan, deh.

Apalagi, serta pada kulit buah termasuk dalam jenis serat
kental yang cenderung efektif menahan rasa lapar. Klop banget buatmu yang
pengin menjalani program diet!

Selain itu, di dalam kulit buah juga banyak antioksidan yang
bisa membantu meningkatkan daya tahan tubuh melawan penyakit dan dampak buruk
radikal bebas. Kamu pun jadi nggak mudah jatuh sakit, deh.

Sayangnya, meski banyak memberikan manfaat kesehatan, proses
pengemasan dan distribusi buah yang belum tentu baik membuatmu memang sebaiknya
berpikir ulang jika pengin memakan buah dengan kulitnya. Selain itu, bisa jadi
saat ditanam, buah terpapar pestisida yang tentu nggak baik jika sampai
tertelan oleh tubuh.

Beda cerita jika buahnya ditanam secara organik tanpa adanya
paparan pestisida atau bahan kimia, sekaligus dikemas dengan baik. Bisa
dikatakan, buah-buah tersebut tinggal dicuci bersih dan aman dikonsumsi.

Melihat fakta-fakta ini, kamu sudah menentukan apakah bakal
masuk tim makan buah dikupas kulitnya atau yang nggak dikupas kulitnya, nih, Millens? (Arie Widodo/E05)

Inibaru.id – Sebagai
warga negara tropis, kita diuntungkan dengan melimpahnya aneka buah yang bisa
dengan mudah tumbuh di Indonesia. Alhasil, harga buah pun cenderung murah jika
dibandingkan dengan harga buah di negara-negara lain, khususnya yang lebih
dekat dengan area kutub.

Nah, kalau kamu tergolong orang yang hobi makan buah setiap
hari, pasti ngeh dengan adanya buah
yang sebaiknya dikupas kulitnya atau langsung dimakan. Sebagai
contoh, kalau makan pisang, salak, atau durian, wajib dikupas kulitnya karena
memang nggak bisa dimakan. Tapi, untuk buah-buahan seperti anggur, pir, atau apel,
sebaiknya sebelum dimakan kulitnya dikupas nggak, ya?

Khusus untuk buah seperti apel, kiwi, atau pir, kulit buah sebaiknya dikupas nggak, ya sebelum dimakan?

Sebelum Dimakan, Haruskah Kulit Buah Dikupas?

Selain membuat rasa kuah soto jadi
beda dari kuah-kuah soto pada umumnya, proses memasak yang unik ini juga bikin
warung Soto Ayam Bang Ari punya tampilan yang menarik. Yap, hampir sepanjang waktu
asap mengepul dari depan warung tersebut. Kombinasi antara asap pembakaran dari
kayu bakar dan kuah soto yang harum pun mengundang siapa saja untuk datang ke warung dua lantai ini.

Soto di sini terbuat dari
bahan-bahan yang sebenarnya nggak jauh beda dari soto pada umumnya, yaitu nasi,
bihun, suwiran daging ayam, seledri, dan tauge. Yang menarik, kamu bisa memilih
opsi nasi dicampur atau dipisah. Tapi, karena kebanyakan warga Semarang
terbiasa dengan soto yang dicampur nasinya, biasanya versi ini lebih laris dari
versi satunya, Millens.

Tatkala kuah soto yang istimewa itu tuang ke mangkuk porselen berdiameter 12 sentimeter, aromanya yang
menggoda langsung tercium. Rasa sotonya yang gurih bakal semakin istimewa karena
diberi tambahan jeruk nipis peras dan sambal. Banyak pembeli yang akhirnya
nambah saking doyannya.

O ya, selain seporsi soto yang mantap,
kamu juga bisa mencicipi lauk seperti perkedel, tempe, lumpia, dan berbagai
macam satai yang sudah tersedia di meja. Keberadaan lauk ini seperti bikin rasa
sotonya semakin paripurna.

Jadi, sudah tahu kan harus ke mana
kalau pengin mencari sarapan nikmat memuaskan di Semarang? Ke Soto Bang Ari
saja. (Arie Widodo/E05)

Inibaru.id – Layaknya kota-kota lain di Indonesia, Semarang
juga memiliki banyak tempat makan menarik yang menjajakan soto. Nah, satu dari
sekian banyak warung soto di Semarang, ada satu warung yang layak untuk kamu
coba, yaitu Soto Bang Ari.

Lokasinya berada di Jalan WR Supratman,
Kalibanteng Kidul. Berdiri sejak 1992, warung ini punya ciri khas unik yaitu kuah yang hanya dimasak dengan kayu bakar. Selain itu, meski dibanderol dengan
harga yang cukup murah, yaitu Rp12 ribu per porsi, sotonya selalu disajikan di
wadah yang cukup mewah, yaitu mangkuk porselen khas Tiongkok.

Karena dimasak dengan kayu bakar,
tentu saja kuah soto yang tersedia di sini istimewa. Oleh karena itulah, jangan
heran jika warung yang biasanya sudah buka sejak pukul 06.00 WIB ini sudah
dijejali pengunjung yang pengin mendapatkan sarapan yang memanjakan perut.

Kuah Soto Bang Ari Semarang dimasak dengan kayu bakar sehingga rasanya beda dari kuah soto pada umumnya! Yang unik, soto ini disajikan dalam mangkuk porselen.

Soto Bang Ari Semarang; Dimasak dengan Kayu Bakar, Disajikan Dalam Mangkuk Porselen Tiongkok

“Banyak orang yang masih nggak menyadari bahwa rasa lapar
berpengaruh besar pada emosi. Sayangnya, hingga sekarang masih cukup sedikit
penelitian ilmiah yang menunjukkan keterkaitan antara rasa lapar dan kemarahan,”
ujar Viren sebagaimana dilansir dari New
Scientist, (7/7/2022).

Nah, Viren dan rekan-rekannya kemudian terpikir untuk
menjalankan penelitian terkait hal ini dengan melibatkan 64 orang dari sejumlah
negara, termasuk dari Jerman dan Austria. Para responden tersebut diminta untuk
mengisi survei yang disebarkan dengan aplikasi telepon pintar. Isi dari
pertanyaan-pertanyaan survey menunjukkan tentang tingkat emosi dan juga
seberapa lapar mereka lima kali sehari dalam periode tiga pekan.

Hasil dari survey tersebut menunjukkan bahwa rasa lapar
ternyata terkait dengan 56 persen dengan ketersinggungan. Saat lapar, seseorang
juga sulit untuk merasa senang.

“Ada kemungkinan saat lapar, para responden cenderung lebih
banyak mengalami emosi negatif,” ungkap Viren.

Kok bisa begitu? Menurut temuan para peneliti, besar
kemungkinan saat lapar kadar gula darah di dalam tubuh berada pada level yang
sangat rendah. Dampaknya, terjadi pelepasan hormon adrenalin yang cenderung
membuat kita jadi lebih mudah marah sekaligus hormon kortisol yang bisa bikin
kita jadi mudah stres dan gelisah.

Pantas saja ya, kita cenderung mudah marah saat lapar. Meski
begitu, bukan berarti kita mewajarkan hal ini saat sedang lapar ya. Akan jauh
lebih bijak jika kita tetap mampu menahan diri meski perut sudah keroncongan
agar tidak memicu konflik dengan siapa saja. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E05)

Inibaru.id – Ada sebuah
hal yang dipercaya banyak orang, yaitu jika rasa lapar bikin mudah marah siapa
saja. Sebenarnya, hal ini memang sesuai dengan fakta kesehatan nggak, sih?

Dalam Bahasa Inggris, ada istilah untuk menggambarkan
kemarahan yang terkait dengan rasa lapar, yaitu hangry. Kata ini adalah kombinasi dari dua kata Bahasa Inggris, yaitu
hungry yang berarti lapar dan juga angry yang berarti marah. Artinya,
fenomena ini dirasakan oleh berbagai orang di seluruh dunia.

Jika ditilik dari sisi kesehatan, ternyata memang
benar, lapar bikin mudah marah, lo. Hal ini diungkap pakar kesehatan dari Anglia Ruskin University, Cambridge,
Inggris. Kalau menurut salah seorang pakar dari institusi tersebut Viern Swami,
memang benar jika saat lapar, manusia cenderung nggak mudah merasa senang,
lebih mudah tersinggung, dan juga lebih mudah marah.

Nggak hanya sekedar slogan, ternyata penelitian membuktikan kalau lapar memang bikin mudah marah. Kok bisa, ya?

Ternyata Memang Benar, Lapar Bikin Mudah Marah

“Jadi ceritanya dulu ada pasangan pengantin yang lewat
Jotosan. Mereka kemudian bertemu dengan seorang wali. Tapi, pas wali tersebut
menyapa mereka, justru nggak menjawab. Walinya kemudia bilang ‘pengantin kok
seperti batu (karena diam saja),” ujar Zainudin sebagaimana dilansir dari Solopos, Sabtu (30/3/2024).

Ajaibnya, nggak lama setelah sang wali mengeluhkan hal
tersebut, pasangan pengantin tersebut kemudian berubah menjadi batu. Nggak
hanya pasangan pengantinnya, pengiringnya juga berubah jadi batu kerikil yang
berserakan di sekitar batu berukuran besar berwarna hitam tersebut. Nah, batu
tersebut masih bisa kamu temui di bagian utara dusun tersebut, tepatnya di
ladang yang ada di tepi sungai.

“Adanya mitos pengantin berubah menjadi batu itulah yang
kemudian membuat nama dusun jadi Watu Penganten. Selain itu, muncul kepercayaan
yang menyebut kalau ada penganten baru, sebaiknya nggak melewati batu tersebut
agar nggak hilang atau pernikahannya tetap langgeng,” lanjut Zainudin.

Selain mitos tersebut, ada mitos lain yang masih diyakini
masyarakat Desa Cabeankunti, yaitu warga Watu Penganten sebaiknya nggak menikah
dengan warga desa di sebelah timur dusun tersebut, yaitu Desa Candigatak. Kalau
tetap nekat melakukannya, ada kekhawatiran pasangan tersebut mengalami nasib
nggak baik.

Andai pernikahannya langgeng, mereka akan mengalami rezeki seret
seumur hidup. Jika rezekinya tetap lancar, ada salah satu pasangan bakal meninggal dunia di usia muda.

Selain itu, hingga sekarang, nggak ada sumur yang bisa
dibangun di Watu Penganten. Meski sudah menggali cukup dalam, nggak bakal
keluar air.

Menarik juga ya cerita rakyat Dusun Watu Penganten di
Boyolali ini. Apakah di daerahmu juga ada cerita rakyat yang unik seperti ini, Millens? (Arie Widodo/E05)

Inibaru.id – Berjarak
kurang lebih 12 kilometer ke arah barat laut dari pusat kota Boyolali, ada
sebuah dusun dengan nama yang nggak biasa. Nama dusunnya adalah Watu Penganten
yang ada di Desa Cabeankunti, Kecamatan Cepogo. Jika diartikan, watu penganten
dalam Bahasa Jawa bermakna Batu Pengantin, Millens.

Berada di ketinggian kurang lebih 700 meter di atas
permukaan laut (mdpl), Desa Cabeankunti dikenal memiliki suhu udara yang
cenderung sejuk. Di desa tersebut, juga ada beberapa tempat wisata yang
terkenal seperti Patirtaan Cabeankunti. Selain itu, juga ada Watu Penganten
yang menyimpan cerita rakyat yang cukup menarik.

Kalau menurut sesepuh setempat Zainudin, dulu sebelum diberi
nama Watu Penganten, nama dusun tersebut pada 1800-an adalah Jotosan. Lantas
kok kemudian berubah?

Konon, watu penganten (batu penganten) yang ada di Desa Cabeankunti, Cepogo, Boyolali dulunya benar-benar pasangan penganten. Kini, pasangan penganten baru nggak ada yang berani lewat sana.

Legenda Watu Penganten Boyolali yang Dulunya Pasangan Penganten

Saat anak sudah memasuki usia 2-4 tahun, mulai terbentuk memori episodik
yang merekam detail-detail sejumlah peristiwa. Tapi, karena belum sempurna,
maka ingatan-ingatan ini seperti potongan-potongan yang kurang jelas.

Yang pasti, ingatan tersebut tersimpan di korteks alias
permukaan otak. Suara-suara yang didengar anak sekecil itu, misalnya, tersimpan
pada koreteks pendengaran yang ada di sisi otak. Sementara itu, memori visual
tersimpan di korteks visual yang ada pda bagian belakang otak. Nah, penghubung
dari korteks-korteks tersebut adalah hipokampus, Millens.

Kalau menurut Profesor Patricia Bauer dari Emory University,
Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, korteks pada permukaan otak tampak seperti
hamparan bunga. Sementara itu, hipokampus berada pada bagian tengah otak yang
menyatukan sekaligus mengikat korteks-korteks tersebut.

Masalahnya, karena proses pengikatan korteks-korteks ini
masih berjalan pada usia 2-4 tahun, bukannya sudah selesai, maka ada beberapa
memori yang nggak terrekam dengan sempurna. Hal inilah yang kemudian membuat
kita seperti kesulitan mengingat begitu banyak memori pada usia tersebut,
apalagi di usia yang lebih muda.

Meski begitu, ada juga teori lain yang menyebut kita
sebenarnya punya memori tersebut di otak, namun kesulitan untuk mengingatnya
kembali di usia dewasa karena terlalu banyak ditumpuk memori-memori lain dari
usia berikutnya. Hal inilah yang diungkap dalam penelitian yang dipublikasikan
hasilnya dalam jurnal Science Advance
pada 2023 lalu.

Dalam penelitian yang melibatkan tikus percobaan berusia
dewasa itu, disebutkan bahwa cahaya bisa menstimulasi ingatan tertentu,
khususnya pada masa kecilnya dengan menggunakan cahaya. Artinya, ingatan itu
nggak benar-benar hilang, melainkan terpendam dan sulit untuk dibangkitkan
kembali.

Kalau kamu sendiri, punya ingatan pas bayi atau balita,
nggak? Ingatan apakah itu kira-kira, Millens?
(Arie Widodo/E05)

Inibaru.id – Coba
deh kamu ingat baik-baik, memori apa yang masih kamu ingat dari masa kecilmu. Apakah
saat masih TK, masih balita, atau malah masih bayi? Biasanya sih, kita nggak
punya ingatan pas bayi. Pernah kepikiran nggak mengapa seperti itu?

Dalam dunia sains, fenomena di mana manusia nggak bisa
mengingat memori pas bayi disebut sebagai amnesia infantil. Makna dari istilah
ini adalah ada kemungkinan, saat masih bayi, otak manusia memang nggak
menyimpan informasi. Alasannya, otak masih berada dalam masa perkembangan dan
fungsi menggabungkan informasi ke sistem saraf kompleks untuk membentuk ingatan
belu terbentuk pada masa itu.

Kalau memang belum bisa membentuk ingatan, kok bayi bisa
tahu siapa orang tua atau keluarganya? Terkait dengan hal ini, bayi punya
memori semantik yang memungkinkan mereka mengetahui orang tua atau keluarganya. 

Meski kita ingat banyak kenangan pas SD atau TK, seringkali kita sulit mengingat memori pas balita atau bayi. Apa sih alasan ingatan pas bayi sulit untuk diingat kembali?

Kepikiran Nggak, Mengapa Kita Nggak Punya Ingatan saat Bayi?

Terkait kematian Nurhasanah, pengisi
suara Giant, Bima Sakti, sempat mengungkapkan penyebab kematian sobat karibnya itu. Bima mengatakan,&nbsp;dia pernah mengalami serangan jantung dan stroke pada 2017
lalu.

“Iya, sudah
sakit stroke sejak Desember 2017 karena komplikasi jantung,” ucap Bima, dikutip dari Detik,&nbsp;Minggu (12/7).

Akibat
serangan jantung, Nurhasanah sempat melakukan operasi pemasangan ring pada
jantungnya. Namun, perempuan berjilbab itu kemudian mengalami stroke dan akhirnya dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu.

Bima
mengaku kali terakhir bertemu Nurhasanah pada Maret 2020, sebelum
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di Jakarta. Saat itu,
kondisi kesehatannya memang sudah memburuk.

Semenjak sakit
pada 2017, Nurhasanah telah berhenti "menjadi" Doraemon. Selain alasan kesehatan, Nurhasanah berhenti karena merasa mengalami kelelahan dan pengin fokus bersama dengan
keluarganya.

Nah, yang menarik, penyulih suara Doraemon kemudian dilakukan oleh putranya sendiri, Dana
Robyansah. Eits, jangan berburuk sangka, pemilihan Dana bukan karena faktor kedekatan keluarga, kok, tapi melalui audisi yang meloloskannya.

“Waktu itu
anaknya ikut audisi, ternyata sesuai, meski nggak sama tapi suaranya paling
mendekati suara Doraemon sebelumnya. Kalau nggak salah, Dana masih jadi
pengisi suara sampai sekarang,” ucap pengisi suara Ibu Nobita, Ely Kusumah.

Duh, jadi kangen dengan suara Bu
Nurhasanah di Doraemon. Terima kasih ya, Bu, telah menemani masa kecil kita dengan kebahagiaan! (Det/IB09/E03)

Inibaru.id – Penggemar Doraemon di seluruh Indonesia
berduka. Pengisi suara Doraemon, Nurhasanah Iskandar meninggal pada Minggu (12/7/2020).
Dia menyusul rekannya, Prabawati Sukarta, pengisi suara Sizhuka yang tutup
usia pada 19 Juni 2020. Nurhasanah meninggal pada usia 62 tahun.

Menjadi pengisi suara legendaris sosok Doraemon versi bahasa Indonesia sejak 1990-an, nggak banyak yang tahu kalau Nurhasanah sebelumnya bekerja di RRI pada bagian produksi sandiwara radio. Terus, dia juga sempat&nbsp;mengisi
suara untuk sejumlah film india dan telenovela. 

Namun, nama Nurhasanah memang baru
berkibar di kalangan masyarakat semenjak menyulih suara sang robot kucing pada 1993. Suaranya yang serak dan berat dianggap sangat cocok dengan karakter dan
penampilan Doraemon.

Pengisi suara Doraemon, Nurhasanah, meninggal dunia pada Minggu (12/7/2020). Sebelum melegenda bersama serial kartun ini, Nurhasanah ternyata juga sempat mengisi suara untuk telenovela dan film India. Seperti apa ya kisah hidupnya?