BerandaHits
Minggu, 9 Nov 2025 15:01

Mencoba Memahami sebelum Menyembuhkan Luka Anak Korban Bullying

Penulis:

Mencoba Memahami sebelum Menyembuhkan Luka Anak Korban BullyingSiti Khatijah
Mencoba Memahami sebelum Menyembuhkan Luka Anak Korban Bullying

Ilustrasi: Mencoba memahami situasi yang terjadi diperlukan untuk mampu menyembuhkan anak yang menjadi korban bullying. (iStock)

Kekerasan bukan hanya fisik, tapi juga verbal. Maka, sebelum menyembuhkan luka anak korban bullying, orang tua perlu mencoba memahami apa yang terjadi dan bagaimana sebaiknya kita mendekati anak yang umumnya memilih bungkam.

Inibaru.id - Di ruang kelas yang riuh, Ani (bukan nama sebenarnya) memilih duduk seorang diri di kursi paling pojok. Kepalanya menunduk, berusaha nggak terlihat sebagai bagian dari penghuni ruangan itu. Peristiwa ini berlangsung cukup lama, hingga akhirnya disadari salah seorang gurunya.

Guru tersebut kemudian menghubungi orang tuanya, menanyakan apakah Ani punya masalah di rumah?Rahmah, yang saat ditelpon masih bekerja di luar kota, segera meminta izin ke atasannya untuk menjenguk anak semata wayangnya itu di Kota Pekalongan.

Bercerita via pesan singkat, Rahmah mengatakan, kejadian itu berlangsung sekitar tiga bulan lalu. Dia memang LDR dengan anaknya dalam setahun terakhir. Namun, perempuan 34 tahun itu yakin bahwa buah hatinya tinggal di rumah yang "aman" bersama nenek-kakeknya.

"Di situlah aku putuskan, harus pulang secepatnya," tutur perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga marketing ini, Sabtu (8/11/2025). "Ternyata benar, anakku jadi korban bullying di sekolah. Itu pun baru ketahuan setelah beberapa hari. Sebelumnya dia memilih bungkam."

Perbedaan Bullying dengan Konflik

Rahmah mengatakan, buah hatinya yang baru kelas 1 SD mendapatkan kekerasan verbal setelah temannya semasa TK yang satu sekolahan dengannya menyebarkan rumor nggak benar tentang dirinya. Beberapa anak yang terpengaruh kemudian mengintimidasinya hingga dia beberapa kali menangis.

"Bukannya berhenti (mengintimidasi), anak-anak itu justru tertawa-tawa dan semakin bersemangat membully," kata dia. "Anakku nggak berani bilang guru atau orang rumah karena takut dituduh sebagai 'tukang ngadu'. Alhamdulillah semuanya sudah clear, tapi pastinya (luka hati) anak nggak bisa sembuh begitu saja."

Meski kampanye anti-bullying begitu marak didengungkan, fakta bahwa kekerasan antar-teman sebaya masih terjadi di sekitar kita nggak bisa dinafikan, nggak terkecuali di Indonesia. Data dari UNICEF (2024) bahkan menunjukkan bahwa satu dari tiga anak di Indonesia pernah mengalami perundungan.

Psikolog Anak dan Remaja Anna Surti Ariani mengatakan, perundungan itu bisa dalam bentuk fisik, verbal, sosial, maupun daring. Menurutnya, masih ada yang salah memahami perbedaan antara konflik dengan bullying.

“Bullying bukan konflik. Bullying adalah kekerasan yang dilakukan secara berulang dengan ketimpangan kekuatan antara pelaku dan korban. Anak yang jadi korban biasanya tidak bisa membela diri, sehingga dampaknya jauh lebih dalam dari yang terlihat,” jelasnya, belum lama ini.

Mengapa Melakukan Bullying

Perilaku bullying bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ejekan terhadap fisik, pengucilan sosial, ancaman, hingga penyebaran gosip atau rumor nggak benar. Bentuk terakhir ini bahkan disebut para ahli sebagai praktik perundungan paling berbahaya karena bisa terjadi kapan pun dan di mana pun.

Mengutip pernyataan Psikolog Klinis Dr Ratih Ibrahim, bullying umumnya lahir dari kombinasi faktor individu dan lingkungan.

“Anak yang suka membully biasanya punya kebutuhan kuat untuk berkuasa, merasa lebih unggul, atau sedang menyalurkan frustrasi yang tidak tertangani,” katanya.

Di sisi lain, anak yang tumbuh di lingkungan yang keras, baik di rumah maupun sekolah, lebih rentan meniru perilaku serupa. Ketika kekerasan menjadi bahasa sehari-hari, empati pun tumpul.

Penelitian Dieter Wolke yang termuat dalam Journal of Child Psychology (2023) menguatkan hal ini. Anak yang menyaksikan kekerasan verbal di rumah memiliki risiko dua kali lipat menjadi pelaku bullying di sekolah. Sementara, sekolah dengan pengawasan lemah, norma sosial permisif, dan minim intervensi guru juga menciptakan ruang aman bagi pelaku untuk beraksi.

Tanda Anak Sedang Jadi Korban

Anak korban bullying sering tampak baik-baik saja dari luar, padahal hatinya mengalami pergulatan emosional yang kompleks. (Flexi)
Anak korban bullying sering tampak baik-baik saja dari luar, padahal hatinya mengalami pergulatan emosional yang kompleks. (Flexi)

Anak korban bullying sering tampak baik-baik saja, setidaknya di luar. Namun, di dalam dirinya, terjadi pergulatan emosional yang kompleks. Sebuah studi pada 2022 bahkan menemukan bahwa korban bullying berisiko tinggi mengalami kecemasan, depresi, insomnia, bahkan gangguan stres pascatrauma.

Menurut Psikiater anak dari RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, dr Novi Wahyuningsih SpKJ(K), anak korban bullying sering mengalami penurunan harga diri dan kehilangan rasa aman. Mereka bisa jadi menarik diri, malas sekolah, atau bahkan menunjukkan perilaku agresif sebagai bentuk pertahanan.

Dalam jangka panjang, korban bullying lebih rentan terhadap gangguan kepercayaan diri, isolasi sosial, dan kesulitan menjalin relasi sehat saat dewasa. Nggak sedikit pula yang membawa luka batin itu hingga puluhan tahun kemudian.

Sebagian korban bullying umumnya enggan bercerita. Maka, perlu kejelian bagi orang tua dan guru untuk bisa mengenali tanda-tanda perundungan. Berikut adalah tanda-tandanya:

  1. Anak sering mengeluh sakit tanpa alasan medis jelas;
  2. Perubahan drastis pada pola tidur, makan, atau suasana hati;
  3. Barang pribadi rusak atau hilang tanpa penjelasan;
  4. Enggan berangkat sekolah atau mendadak menolak berinteraksi dengan teman tertentu; dan
  5. Aktivitas media sosial menurun, atau anak terlihat cemas setiap kali ponsel berbunyi.

Saat Orang Tua Harus Hadir

Jika gejala ini muncul berulang dan disertai penurunan semangat belajar, besar kemungkinan ada tekanan sosial yang belum terungkap. Jika situasi itu terjadi pada anakmu, cobalah untuk membuka komunikasi tanpa berusaha memojokkan buah hati.

"Ketika anak akhirnya bercerita, tanggapan pertama orang tua akan menentukan apakah dia merasa aman atau semakin terpuruk," tutur Anna Surti Ariani. “Yang dibutuhkan anak bukan nasihat panjang, tapi pelukan dan keyakinan bahwa mereka didengar.”

Disarikan dari berbagai sumber, berikut adalah rekomendasi yang bisa dilakukan:

1. Dengarkan tanpa menghakimi

Hindari kalimat seperti “Sudah, jangan dipikirkan!” atau “Lain kali lawan saja!”. Fokuslah mendengarkan dan validasi perasaan anak. Katakan, “Ayah percaya kamu!" atau "Menurut ibu, kamu tidak salah!”

2. Catat detail kejadian

Tuliskan siapa pelaku, kapan, dan di mana peristiwa terjadi. Dokumentasi ini penting jika laporan perlu diteruskan ke pihak sekolah atau berwenang.

3. Kolaborasi dengan sekolah

Segera temui guru atau konselor sekolah. Mintalah tindakan konkret seperti peningkatan pengawasan, mediasi, atau sanksi terhadap pelaku. Peneliti Adam Gaffney mengatakan, program anti-bullying berbasis kolaborasi sekolah mampu menurunkan angka perundungan hingga 20 persen jika diterapkan konsisten.

4. Pulihkan rasa percaya diri anak

Dorong anak untuk terlibat dalam kegiatan positif seperti olahraga, seni, atau organisasi. Pujilah setiap usaha kecilnya dengan pas. Keberhasilan kecil adalah “obat” yang membantu anak merasa berharga kembali.

5. Waspadai dampak digital

Jika bullying terjadi secara daring, simpan bukti percakapan, screenshot, atau tautan. Jangan langsung menonaktifkan akun anak, tapi ajak dia mengatur ulang privasi dan melaporkan pelaku ke platform terkait.

6. Cari bantuan profesional jika diperlukan

Apabila anak menunjukkan tanda depresi berat, mimpi buruk, atau keinginan menyakiti diri, segera konsultasikan ke psikolog atau psikiater. Terapi kognitif-perilaku (CBT) dan trauma-focused therapy terbukti efektif membantu korban mengolah pengalaman pahit dengan aman.

Peran Sekolah dan Lingkungan

Sekolah punya tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem aman. Menurut Dr Ratih Ibrahim, sekolah seharusnya bukan hanya tempat belajar, tapi juga “tempat tumbuhnya empati.”

“Program anti-bullying efektif jika seluruh pihak, yakni guru, siswa, dan orang tua, terlibat. Ketika nilai empati dan saling menghargai ditanamkan sejak awal, perilaku agresif akan menurun alami,” ujarnya.

Selain itu, sekolah perlu menyediakan ruang konseling dan mekanisme pelaporan yang nggak menakutkan. Anak-anak cenderung diam karena takut dianggap “tukang ngadu”. Maka, budaya speak up harus dibangun perlahan melalui kepercayaan.

Memulihkan anak korban bullying bukan proses instan, tapi memungkinkan. Dengan dukungan keluarga, bimbingan profesional, dan lingkungan yang empatik, anak bisa tumbuh kembali menjadi pribadi yang kuat.

Penelitian dari University College London (2023) menunjukkan bahwa anak korban bullying yang mendapat dukungan emosional kuat dari orang tua memiliki tingkat pemulihan mental dua kali lebih cepat dibanding yang tidak.

Ada penelitian yang menyebutkan bahwa bullying nggak hanya memengaruhi mental, tapi juga kerja otak. Maka, berusaha keraslah untuk membuat anak terhindar dari kasus bullying, baik ia sebagai korban maupun pelaku. Pastikan setiap anak tumbuh dengan rasa aman, ya! (Siti Khatijah/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved