Inibaru.id - Lebih dari tiga dekade lalu, dunia dikejutkan oleh kabar menganganya lubang ozon di atas Antarktika. Kini, kabar menggembirakan datang dari belahan bumi selatan itu. Lubang ozon yang sempat mengkhawatirkan para ilmuwan dan aktivis lingkungan, kini mulai pulih. Bukan sekadar harapan, tapi hasil konkret dari kerja sama global.
Studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature pada 5 Maret 2025, menunjukkan bahwa lapisan ozon di Antarktika mengalami pemulihan yang signifikan. Salah satu otak di balik penelitian ini adalah Profesor Susan Solomon, Guru Besar Studi Lingkungan dan Kimia dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dalam pernyataannya, Solomon menegaskan bahwa pemulihan ini bisa dikatakan dengan tingkat keyakinan 95 persen. "Itu luar biasa. Dan itu menunjukkan kita benar-benar dapat memecahkan masalah lingkungan," ujarnya, dikutip dari laman resmi MIT.
Sebagai informasi, lubang ozon pertama kali ditemukan pada 1985. Saat itu, para ilmuwan menyadari bahwa lapisan pelindung Bumi dari sinar ultraviolet ini menipis drastis setiap kali Antarktika memasuki musim semi. Dampaknya nggak main-main, lo. Sinar UV yang langsung menyentuh permukaan Bumi dapat menyebabkan kanker kulit, katarak, dan merusak sistem kekebalan tubuh manusia, juga ekosistem.
Solomon bukan nama baru dalam upaya melawan krisis ozon. Pada 1986, dia bersama tim dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) turun langsung ke Antarktika dan mengonfirmasi penyebab kerusakan ozon: klorofluorokarbon (CFC). Bahan kimia yang saat itu umum digunakan dalam kulkas dan AC ini terbukti merusak ozon ketika mencapai lapisan stratosfer.
Hasil riset tersebut memicu tindakan global. Hanya satu tahun setelahnya, pada 1987, negara-negara di dunia menandatangani Protokol Montreal, yang melarang penggunaan CFC. Itu menjadi salah satu tonggak sejarah kerja sama lingkungan paling sukses sepanjang masa.
Namun, butuh waktu lama untuk melihat hasilnya. Baru pada 2016, tanda-tanda penyusutan lubang ozon mulai terlihat, meski masih bersifat kualitatif. Penelitian terbaru inilah yang akhirnya membuktikan secara kuantitatif bahwa pemulihan ini memang nyata, dan utamanya disebabkan oleh pembatasan zat perusak ozon.
Solomon dan tim menggunakan metode fingerprinting yang dikembangkan oleh peraih Nobel Fisika Klaus Hasselmann untuk menganalisis data satelit dari 2005 hingga sekarang. Mereka menemukan bahwa “sidik jari” pemulihan ozon semakin kuat dari tahun ke tahun. Pada 2018, pola itu terlihat sangat jelas, menandakan bahwa upaya global memang membuahkan hasil.
Jika tren ini terus berlangsung, Solomon memperkirakan bahwa sekitar tahun 2035, lubang ozon di Antarktika akan benar-benar tertutup. Nggak ada lagi penipisan. Nggak ada lagi alarm bahaya dari stratosfer.
Cerita ini bukan hanya soal keberhasilan ilmiah. Ini adalah bukti bahwa dunia bisa berubah, selama ada niat, kerja sama, dan kebijakan yang berpihak pada bumi. Dalam dunia yang kerap terasa pesimis akan perubahan iklim dan krisis lingkungan, pemulihan ozon menjadi secercah harapan. Jika dulu kita bisa bersama melindungi langit, hari ini dan esok, mengapa nggak untuk laut, tanah, dan udara yang lain?
Sudah saatnya nih kita belajar dari langit, dan mulai bertindak untuk bumi, Millens! (Siti Zumrokhatun/E05).
