Inibaru.id - September 2025 lalu, perhatian publik tertuju pada tiga anak kucing kuwuk yang ditemukan warga di Bali Barat. Dua di antaranya kini masih menjalani perawatan intensif di pusat rehabilitasi Umah Lumba, Buleleng, setelah ditemukan dalam kondisi memprihatinkan. Kasus serupa terjadi di Bogor, ketika seekor kucing kuwuk bernama Chiki diselamatkan dan kini dirawat di Cikananga Wildlife Center, Sukabumi.
“Kondisinya semakin bagus, semakin liar dan agresif,” terang Meidi Yanto, Manajer Konservasi In-Situ YCKT, menggambarkan harapan kecil dari upaya pemulihan satwa yang seharusnya hidup bebas itu.
Kisah-kisah ini sejalan dengan temuan ilmiah dalam laporan IUCN Red List 2022 berjudul Prionailurus bengalensis, Mainland Leopard Cat. Laporan tersebut memetakan distribusi, ancaman, dan strategi penyelamatan kucing kuwuk di seluruh Asia dan menyiratkan bahwa apa yang terjadi di Bali dan Bogor hanyalah bagian dari masalah yang jauh lebih besar.
Secara biologis, kucing yang juga disebut kucing akar ini termasuk spesies kucing liar paling adaptif di Asia. Mereka menghuni hutan primer, sekunder, agroforestri, hingga area pertanian. Persebarannya luas dari Pakistan, India, Tiongkok, hingga Asia Tenggara. Tubuhnya kecil, beratnya 3 hingga 7 kilogram, namun cekatan memburu tikus dan burung, membuatnya menjadi bagian penting dalam rantai ekosistem.
Namun, persebaran luas bukan berarti aman. Laporan IUCN justru menegaskan, “Kita mengira populasinya stabil karena masih sering ditemukan, padahal banyak kawasan terjadi penurunan signifikan.”
Kondisi ini diperparah dengan minimnya survei khusus. “Dedicated survey untuk kucing kuwuk belum ada sepertinya,” jelas Erwin Wilianto dari Yayasan SINTAS Indonesia. Sebagian besar data yang ada hanya berasal dari laporan warga atau temuan insidental, jauh dari cukup untuk merancang strategi konservasi yang solid.
Tekanan terhadap habitat juga semakin nyata. Hutan-hutan di Asia Tenggara terus berkurang, digantikan oleh perkebunan sawit, karet, hingga kompleks wisata. Perburuan dan perdagangan ilegal ikut menambah beban. Di berbagai platform digital, kucing kuwuk kerap dijual sebagai hewan peliharaan eksotis. Ancaman lain datang dari hibridisasi dengan kucing domestik, yang dapat mengaburkan garis genetik spesies liar ini.
Baca Juga:
Penyu Sisik, Selangkah Menuju PunahFenomena di Desa Penjarakan, Buleleng, adalah contoh nyata bagaimana aktivitas manusia memengaruhi hidup mereka. Tiga anak kuwuk ditemukan tanpa induk, hampir menjadi mangsa anjing. “Kami berusaha keras supaya mereka tetap liar,” kata Femke den Haas dari JAAN. “Jika terlalu dekat manusia, mereka akan sulit dilepasliarkan.”
BKSDA Bali juga menemukan kasus lain. Ada temuan satwa liar dipelihara secara ilegal oleh ekspatriat. “Tahun lalu, ada warga negara Prancis kedapatan membawa kucing hutan tanpa dokumen resmi. Ia dideportasi,” ujar Sumarsono, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bali.
Meski tercatat dalam Appendix II CITES dan dilindungi di Indonesia, upaya konservasinya masih menghadapi banyak kendala. Survei kamera jebak sering memprioritaskan satwa besar, sehingga rekaman kuwuk hanya dianggap data tambahan. Padahal, tanpa data dasar populasi, perlindungan yang efektif sulit diwujudkan.
Kajian ilmiah menyarankan langkah yang lebih sistematis. Para peneliti melakukan survei khusus dengan kamera jebak, analisis genetik, edukasi publik, penegakan hukum yang lebih tegas, perluasan kawasan lindung, hingga pemberian insentif bagi warga yang melapor.
Kucing kuwuk bukan hanya soal kelestarian satwa liar. Ia adalah indikator kesehatan hutan, penjaga alami yang bekerja dalam diam. Jika kita kehilangan mereka, kita kehilangan lebih dari sekadar seekor kucing liar. Kita kehilangan harmoni ekosistem yang menopang kehidupan kita sendiri. Sedih banget ya, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
