Inibaru.id – Rumah-rumah tradisional Jawa masih bisa kamu temukan di Kecamatan Karangawen dan Guntur di Kabupaten Demak. Rumah-rumah ini punya ciri khas; atapnya berbentuk kampung srotongan, turunan dari joglo dengan bumbungan atap yang lebih lebar. Selain itu, ada keunikan lain, yakni masih dipakainya lantai kayu di ruang tamu rumah Jawa tersebut.
Jangan kira rumah-rumah ini berukuran minimalis. Kebanyakan rumah ini berukuran sangat luas. Luas ruang tamunya bahkan bisa berukuran satu rumah berukuran kecil di kota-kota. Belum lagi dengan dapur alias senthong di belakang yang nggak kalah luas. Pokoknya, semua serba lega.
Sebenarnya, keberadaan atap kampung srotongan yang tinggi ini agak aneh jika memperhatikan kondisi cuaca di sana. Di Karangawen atau Guntur, setiap kali musim hujan, pasti ada saja kejadian hujan angin lebat yang bisa saja membuat genteng beterbangan.
Bentuk atap yang membumbung tinggi membuatnya mudah untuk dihantam angin yang berembus kencang, dan memaksa warga bertahan di teras rumah alih-alih di dalam rumah karena bersiaga agar bisa segera kabur andai terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.
Balik lagi ke lantai kayu di ruang tamu rumah-rumah tradisional Jawa yang unik itu. Bentuknya mirip dengan rumah panggung, tapi dengan kolong di antara lantai dan tanah yang jauh lebih rendah dari rumah panggung yang bisa kamu temukan di Sumatera atau Kalimantan. Praktis, kolong itu nggak bisa kamu gunakan sebagai tempat penyimpanan apapun dan dibiarkan begitu saja.
Andai kamu menginjakkan kaki di lantai kayu itu, dipastikan terdengar derap langkah dengan suara kayu yang khas. Dijamin kamu sulit untuk mengendap-endap di sana. Ditambah lagi, kebanyakan warga setempat memasukkan sepeda motor di ruang tamu tersebut. Suara gemeretak kayu pun bakal berpadu dengan suara mesin yang menderu.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, luas ruang tamu di rumah-rumah tradisional ini sangat luas. Saking luasnya, banyak anak yang belajar naik sepeda di dalam ruang tamu tersebut. Meski begitu, bukan itu tujuan utama dari pembuatan ruang tamu yang sangat luas ini. Semua disebabkan oleh hasil panen andalan di Karangawen dan Guntur; tembakau.
Berkarung-karung gabah yang jadi bahan makanan pokok nggak begitu banyak memakan tempat. Palawija juga biasanya lebih cepat terjual. Namun, khusus untuk tembakau, perlakuannya berbeda. Begitu dipanen, warga setempat harus mengolahnya menjadi tembakau kering yang sudah dirajang, dipotong kecil-kecil, dan ditempatkan dalam keranjang khusus sebelum dijual ke tengkulak yang membawanya ke pabrik-pabrik rokok di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setiap kali musim panen tembakau tiba, di saat itulah fungsi ruang tamu dengan lantai kayu yang luas itu begitu terasa. Ada yang merajang tembakau hingga larut malam dengan alat yang hampir mirip guillotine. Ada yang bertugas menempatkannya di wadah bernama widik dari bambu yang datar dan berbentuk persegi panjang. Di wadah inilah, tembakau dengan aroma khas ini bakal dijemur keesokan harinya.
Jika tembakau sudah kering, maka bakal ditempatkan di sebuah keranjang besar yang terbuat dari kombinasi bambu dan pelepah pisang kering. Tembakau inilah yang kemudian bisa dijual dan ditempatkan di dalam truk-truk berukuran besar.
Sayangnya, tembakau yang dulu jadi primadona karena harga jualnya yang sangat tinggi semakin menurun harganya. Menurut Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), kondisi ini sudah dirasakan sejak 2015.
Di pergantian milenium, harga tembakau bisa saja mencapai lebih dari Rp 100 ribu per kilogram. Kini, rata-rata harganya di musim panen hanya Rp 40 ribu per kg. Bahkan, pada Senin (20/9/2021) lalu, tercatat hanya Rp 23 ribu per kg saja.
Kenaikan harga cukai rokok, larangan rokok ilegal, naiknya biaya tenaga kerja yang membantu panen dan pengolahan tembakau, hingga pandemi memang semakin memberatkan usaha para petani tembakau di Karangawen, Guntur, dan wilayah sekitarnya. Namun, mereka bakal kembali menanamnya, dan berharap pada musim kemarau selanjutnya, lantai kayu di ruang tamu yang sangat luas di rumah-rumah tradisional itu kembali harum dengan aroma tembakau seperti tahun-tahun sebelumnya.
Eh, kamu sudah pernah lihat rumah khas Demak ini secara langsung belum, Millens?(Bis/IB09/E05)