Inibaru.id - Warna adalah bagian penting dari produk makanan atau kosmetik. Dalam makanan, ia berperan mempertajam warna bahan makanan yang mengalami perubahan pada saat proses pengolahan. Sementara pada kosmetik, ia memiliki fungsi yang lebih penting lagi. Bisa kamu bayangkan, apa jadinya kosmetik tanpa warna-warni?
Merah dan warna-warna turunannya menjadi warna paling banyak kita lihat pada makanan dan kosmetik. Untuk mendapatkan warna tersebut, tentu saja kita membutuhkan pewarna. Nah, salah satu bahan pewarna penghasil warna merah adalah karmin.
Karmin atau carmyne adalah pewarna alami yang didapat dari kutu daun atau lebih dikenal dengan nama cochineal. Pewarna karmin dihasilkan dari tubuh betina serangga cochineal yang telah dikeringkan dan dihancurkan. Warna merah alami didapat karena serangga tersebut menghasilkan asam carminic yang kemudian diekstraksi dan diolah.
Menghasilkan warna merah yang menarik, nggak heran jika karmin digunakan untuk memberi warna pada berbagai jenis makanan dan minuman, seperti permen, minuman ringan, yogurt, es krim, dan lainnya. Sedangkan pada produk kosmetik, karmin digunakan untuk memberi warna pada lipstik, lip gloss, blush, dan eyeshadow.
Kontroversi Karmin
Belakangan ini, pewarna karmin sedang hangat diperbincangkan. Pasalnya ada dua pendapat yang berseberangan terkait hukum penggunaan karmin dari kacamata Agama Islam.
Menurut Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia), penggunaan pewarna karmin yang berasal dari serangga cochineal adalah halal. Pada tahun 2011, MUI melalui Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 mengeluarkan pertimbangan bahwa cochineal adalah serangga yang hidup di atas kaktus, mengonsumsi kelembaban dan nutrisi dari tanaman, dan darahnya nggak mengalir.
Oleh karena itu, pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal dianggap halal, asalkan pewarna tersebut bermanfaat dan nggak membahayakan.
Tapi, perlu kamu tahu, penggunaan pewarna karmin seringkali memerlukan bahan tambahan seperti bahan pelarut, bahan pelapis, dan bahan pengemulsi agar warna tetap cerah, nggak mudah pudar, dan stabil. Beberapa dari bahan tambahan ini dapat berasal dari hewan. Nah, di sini MUI menekankan bahwa bahan tambahan itu harus berasal dari hewan yang halal dan diproses secara halal.
Pendapat yang berbeda datang dari Fatwa Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur. Zat pewarna karmin yang berasal dari serangga dianggap haram dan najis untuk dikonsumsi. Keputusan ini diambil setelah pertimbangan berdasarkan aspek keagamaan dan hukum Islam.
Dikutip dari Website NU Jatim, Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Romadlon Chotib menjelaskan bahwa pewarna karmin sering kali diidentifikasi dalam makanan atau produk make-up dengan kode E-120. Dia menyarankan umat muslim menghindari produk-produk yang mengandung kode ini.
“Dalam bahtsul masail, kami telah memutuskan bahwa penggunaan karmin ini diharamkan menurut Imam Syafi’i, dan kami adalah penganut madzhab Syafi’iyah,” ujarnya dalam Konferensi Pers Hasil Bahtsul Masail LBMNU Jatim di Kantor PWNU Jatim, Selasa (12/9) lalu.
Itulah dua pendapat berbeda terkait pewarna karmin. Sama-sama memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan, kamu berhak memiliki kecenderungan ke salah satu pendapat atau malah punya pendapat sendiri, Millens. (Siti Khatijah/E07)