Inibaru.id – Tahun demi tahun peristiwa 30 September 1965 (G30S) menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, terutama pasca-Orde Baru (Orba) lengser. Tak hanya peristiwanya, film Pengkhianatan G30S PKI (1984) juga menjadi polemik. Banyak orang ingin mengetahui latar belakang pembuatan film ini.
Sang produser, Gufran Dwipayana, sudah meninggal pada 18 Maret 1990. Sementara sang sutradara, Arifin C Noer, juga telah berpulang sejak 28 Mei 1995. Siapa yang harus ditanya? Maka, istri Arifin, Jajang C Noer, pun menjadi sasaran.
Jajang mengakui jika film itu pesanan, dibuat agar rakyat mendapat gambaran kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang peristiwa 30 September 1965. Selanjutnya, film itu menjadi alat propaganda anti-PKI oleh Orba.
Baca juga: Jajang: Film G30S Dibuat Tanpa Tekanan
Dilansir dari Detikcom, Jajang mengatakan, setidak-tidaknya dibutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk membuat Pengkhianatan G30S PKI. Rentang selama itu digunakan untuk mencari data dan syuting.
“Ya, dua tahun. Syuting di tiap rumah ibu-ibu (jenderal) itu memakan waktu seminggu. Macam-macam yang mesti di-take. Kebetulan sekali, tiap adegan ditembak dan diseret itu malam Jumat. Nggak tahu kenapa? Seolah-olah direstui, diridai,” jelasnya.
Adapun untuk data-data yang digunakan sebagai landasan, berasal dari pemerintah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, Nugroho Notosusanto, adalah sumber sumber data utama film ini. Tak ada yang dikarang.
Sebagaimana dituturkan Jajang, Arifin C Noer menjadi sutradara film Pengkhianatan G30S PKI atas rekomendasi penulis cum pendiri majalah Tempo, Goenawan Mohamad. Jadi, akunya, tak ada tekanan sama sekali.
Baca juga: Inilah 5 Film Sejarah Indonesia Paling Kontroversial
Jauh sebelum film itu dibuat, produser Gufran Dwipayana sempat meminta rekomendasi Goen, sapaan akrab Goenawan Mohamad, siapa sutradara yang bagus di Tanah Air. Maka, tersebutlah dua nama, yakni Teguh Karya dan Arifin.
Dwipa pun memilih Arifin. Sejumlah film kemudian menjadi kerja sama dua insan perfilman tersebut. Harmoniku (1979), Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (1979), dan Serangan Fajar (1982), menjadi sejumlah karya yang dihasilkan. Setelah itu, ungkap Jajang, barulah film peristiwa G30S dibuat.
“Kalau mau menolak (film G30S) bisa saja. Toh, nggak ada kontrak. Tapi lagi-lagi Mas Goen meyakinkan Mas Arifin. Jadi karena itu dia mau bikin,” tegas Jajang. (GIL/SA)