Inibaru.id – Pemerintah dan DPR telah menyetujui RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja dibawa ke Rapat Paripurna 8 Oktober 2020 mendatang. Artinya, selangkah lagi RUU ini bakal menjadi UU. Padahal, RUU ini telah menjadi polemik di masyarakat, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan.
Menanggapi hal ini, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengungkapkan, yang menjadi polemik RUU ini adalah kontrak kerja yang dapat diberlakukan seumur hidup. Padahal, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur, perusahaan harus memberi pesangon pekerja yang dipecat.
“Muncullah Omnibus Law, agar investor masuk dan tidak terganggu dengan buruh,” ungkap Agus. “Jadi buatlah itu pasalnya, bahwa tidak ada masa berlakunya kontrak. Itu ditentang oleh buruh, artinya buruh tidak memiliki jaminan kehilangan pekerjaan.”
Agus juga mengungkapkan sisi positif yang dapat dirasakan perusahaan yaitu terkait kemudahan mendapat investor dan tenaga kerja asing.
“Daripada ribut-ribut (dengan pekerja), mending perusahaan itu mengambil tenaga kerja asing. Kalau selesai suatu waktu, pulang, ganti lagi,” tegasnya.
Selain itu, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengungkapkan bahwa RUU Cipta Kerja sangat merugikan pekerja. Pasalnya, perlindungan terhadap pekerja sendiri akan menurun.
Dia khawatir, perusahaan akan membuka sistem kontrak dan outsourching seluas-luasnya. Hal ini menurutnya menimbulkan ketidakpastian terhadap para pekerja.
“Hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan didegradasi oleh UU Cipta Kerja ini,” ungkapnya.
Selanjutnya, Timboel juga mengungkapkan berbagai hal yang memberatkan pihak pekerja. Berupa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PWKT), upah minimum, proses dan kompensasi PHK, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) diserahkan ketentuan detailnya ke Peraturan Pemerintah (PP), bukan UU.
Menurutnya, persoalan terkait hak pekerja merupakan kewajiban DPR untuk membahasnya, bukannya pemerintah.
“Saya menilai seharusnya norma-norma yang terkait dengan hak konstitusional harus diatur di UU, bukan di PP,”tegasnya.
Hingga kini, tagar #tolakomnibuslaw terus digemakan di berbagai sosial media oleh pekerja dan juga aktivis buruh. Kamu sendiri setuju atau menolak RUU ini, Millens? (Kom/IB27/E03)