Inibaru.id - Kawasan awul-awul di Jalan MT Haryono, Semarang Tengah, Kota Semarang, tepatnya di dekat Bundaran Bubakan, tampak sepi. Ada 2-3 orang pelanggan yang sedang menawar. Namun, hingga menjelang tengah hari, Aji, salah seorang pedagang, mengaku belum dapat pembeli.
Selama pandemi corona, omzet para pelapak awul-awul di Bubakan memang sangat turun. Oya, perlu kamu tahu, awul-awul adalah istilah untuk pakaian bekas atau preloved yang dijual dengan harga cukup miring.
Akibat virus corona, belakangan orang memang enggan mampir untuk membeli pakaian di awul-awul. Jangankan awul-awul yang bekas, beli pakaian baru di toko atau mal saja orang merasa waswas.
Aji menuturkan, lebaran kali ini memang anomali. Pada tahun-tahun sebelum ini, menjelang Idulfitri sejatinya adalah waktu yang tepat bagi Aji dan teman-temannya untuk meraup untung berlipat. Dagangannya akan ramai diborong pembeli. Namun, tidak untuk kali ini.
“Sekarang cuma cukup buat makan saja. Nggak bisa kalau buat nabung atau membiayai banyak hal,” keluh Aji, Selasa (12/3/2020).
Hal senada juga dilontarkan Runiyem. Pedagang yang sudah memasuki usia senja tersebut menjelaskan betapa sepi dagangannya. Dia pun menjabarkan alur pendapatannya selama berdagang.
Untuk berjualan awul-awul, dia mengaku mendapatkan barang dagangan dari pabrik-pabrik. Dari pemasok dia biasa membeli satu celana jeans, misalnya, dengan harga Rp 65 ribu. Lalu, dia menjualnya dengan keuntungan sekitar Rp 10 ribu per item.
“Sekarang, seminggu saja baru laku satu. Duitnya sudah habis buat makan atau bayar pendorong gerobak saya,” terang Runiyem. Obrolannya berhenti setelah seorang bernama Totok mendekatinya.
Totok datang bersama anaknya, naik motor. Di motor tersebut, lelaki 45 tahun tersebut membawa sembako yang diletakkan dalam beberapa kardus dan sejumlah kantong plastik. Kedatangan Totok segera disambut para pedagang awul-awul, termasuk Runiyem.
“Aku ambil deterjen 3, sama minyak, ya,” ujar Runiyem.
Menerapkan Sistem Barter
Nggak lama setelah Runiyem mengambil deterjen dan minyak goreng, Totok mendatangi lapaknya, lalu memilih-milih pakaian seharga sembako yang diambil Runiyem. Dia juga melakukan itu ke lapak lain. Yap, mereka menerapkan sistem barter: sembako ditukar baju bekas.
Semenjak paceklik karena pandemi, sistem barter mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Totok secara berkala, antara 3-5 hari sekali, datang ke lapak-lapak tersebut untuk menawarkan sembako. Sebagai gantinya, dia mengambil pakaian senilai harga sembako.
“Saya tukar dengan jaket, misalnya. Ditukar dengan sembako," terang lelaki yang mengaku hanya melakukan barter dengan pedagang awul-awul di Bubakan tersebut. "Kadang juga tukar-tambah dengan uang.”
Totok mengaku hanya membawa barang-barang kecil yang memang dibutuhkan mereka, seperti sabun, deterjen, beberapa jenis minuman, minyak, mi instan, dan bumbu dapur. Dia mengaku nggak membawa beras karena dinilai terlalu berat.
Maryani, salah seorang pedagang awul-awul yang juga memanfaatkan sistem barter tersebut, mengaku merasa cukup terbantu dengan sistem tukar barang dengan sembako tersebut. Menurutnya, sistem ini saling menguntungkan, khususnya pada saat serba kekurangan seperti sekarang.
“Kalau uang, ya, nggak selalu ada. Saya punyanya barang,” pungkas Maryani.
Wah, cukup menarik, ya, Millens! Mungkin kamu juga bisa menerapkan sistem barter di daerahmu, agar semua orang bisa bertahan di tengah pandemi! (Audrian F/E03)