Inibaru.id - Kamu tahu Johnny Depp, aktor Hollywood yang terkenal itu kan? Saya lumayan terkejut saat membaca pemberitaan bahwa dia menjadi korban kekerasan kekasihnya. Kasus ini semakin membuka mata saya bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga bisa dialami oleh lelaki.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dari pasal di atas dan kasus yang banyak terjadi, korban KDRT identik dengan perempuan. Padahal KDRT bisa saja dialami atau dilakukan seluruh anggota keluarga.
Pendapat ini juga disampaikan Budi Satmoko, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Semarang. Menurutnya, KDRT nggak cuma dialami oleh perempuan tapi juga bagi anggota keluarga yang lain. Ada pula KDRT yang dialami oleh lelaki yang dilakukan oleh istri.
“Biasanya non fisik dengan verbal, walaupun yang fisik ada juga namun jarang,” tutur Budi.
Kata Budi, jenis kekerasan fisik kini mengalami pergeseran. Jika pada zaman dahulu masyarakat Indonesia menoleransi kekerasan, kini adanya undang-undang membuat masyarakat diminta untuk menghilangkan kebiasaan ini.
Minimnya Laporan Lelaki Korban KDRT
Minimnya korban KDRT yang dialami oleh lelaki ini bukan berarti nggak ada kasus sama sekali. Tadinya saya pikir sifat maskulinisme laki-laki yang enggan dianggap lemah menjadi penyebab mereka memilih diam. Tapi Budi membantahnya. Menurutnya ada dua penyebab lain minimnya angka laporan lelaki yang jadi korban KDRT.
Pertama, undang-undang yang sudah ada memiliki asumsi bahwa pelaku KDRT adalah laki-laki. Direktur Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Nur Laila Hafidhoh menyebutkan bahwa KDRT disebabkan oleh relasi kuasa yang tidak seimbang dalam rumah tangga yang lebih sering dialami oleh perempuan.
“Undang-undang membuat asumsi bahwa KDRT korbannya adalah perempuan,” tutur Budi.
Kedua, ketiadaan pintu pelaporan KDRT yang dialami laki-laki tampaknya juga membuat minimnya kasus yang terlaporkan. Budi mengungkapkan bahwa hampir seluruh saluran pelaporan korban KDRT punya persepsi bahwa korbannya adalah perempuan seperti PPT Seruni Kota Semarang.
“Saluran korban laki-laki terbatas bahkan nyaris nggak ada sehingga lelaki yang jadi korban bingung mau melapor ke mana,” ungkap Budi.
Namun sekali lagi, menurut Yaya panggilan akrab Nur Laila Hafidhoh, angka saja nggak bisa jadi patokan banyak sedikitnya kasus. Bisa jadi hal tersebut merupakan fenomena gunung es yang hanya terlihat permukaannya.
Terkait fenomena ini, bagaimana menurutmu, Millens? (Zulfa Anisah/E05)