Inibaru.id – Di semua buku sejarah Bahasa Indonesia yang menceritakan tentang hari-hari sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, nama Laksamana Maeda pasti disebut. Maklum, di rumahnya yang ada di Jalan Meiji Dori (sekarang adalah Jalan Imam Bonjol Nomor 1), Soekarno, Hatta, dan sejumlah tokoh-tokoh lainnya mengadakan pertemuan yang berujung pada proklamasi kemerdekaan tersebut.
Dari namanya saja, kita sudah tahu kalau Laksamana Maeda adalah orang Jepang. Nama lengkapnya adalah Tadashi Maeda. Dia lahir pada 3 Maret 1898 di Kajiki, Kagoshima. Setelah masuk ke Akademi Angkatan Laut Jepang saat usianya baru 18 tahun, Maeda meniti karier di Angkatan Laut Jepang dengan cepat. Pada 1930, dia bahkan sudah mendapatkan pangkat letnan satu.
Pada periode 1932 sampai 1940-an, Maeda mendapatkan tugas khusus sebagai staf khusus untuk mendatangi negara-negara Eropa, termasuk Jerman, Britania Raya, hingga Belanda. Barulah pada Oktober 1940, Maeda ditugaskan ke Hindia Belanda untuk melakukan negosiasi perjanjian dagang dengan bangsa penjajah sekaligus membangun jaringan mata-mata di sini.
Sempat pulang ke Jepang pada 1941, Maeda kembali ke Nusantara, tepatnya Batavia pada Agustus 1942. Saat itu, Jepang memang sudah menguasai Indonesia. Pada Oktober 1944, Perdana Menteri Jepang kala itu, Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Maeda pun ditugaskan pemerintah Jepang untuk mendukung hal tersebut.
Salah satu cara yang dilakukan Maeda untuk melaksanakan tugas tersebut adalah membentuk Asrama Indonesia Merdeka pada Oktober 1944. Asrama ini diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang bisa diandalkan untuk mengurus Indonesia setelah merdeka nantinya.
Dari sini, sudah mengerti kan mengapa seorang Jepang dengan pangkat tinggi kok bisa-bisanya malah mendukung kemerdekaan Indonesia yang saat itu dijajah Jepang, Millens? Yap, Maeda benar-benar melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Tatkala Jepang luluh lantak oleh bom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945, Panglima Tertinggi Jepang di Kawasan Asia Tenggara Marsekal Terauchi Masatake memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat untuk menemuinya di Dalat (kini Ho Chi Minh), Vietnam. Dalam pertemuan itu, Terauchi menjanjikan Indonesia akan merdeka pada 24 Agustus 1945.
Tapi, pada 15 Agustus 1945, kabar Jepang menyerah menyebar dengan cepat. Golongan pejuang muda seperti Sukarni serta Chaerul Saleh kemudian mengamankan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendorong mereka segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sebelum tanggal yang dijanjikan Jepang. Keduanya kemudian setuju untuk melakukannya.
Sayangnya, pada hari yang sama, tepatnya pukul 22.00 WIB, saat Soekarno, Hatta, dan para pejuang lainnya kembali ke Jakarta untuk merencanakan proklamasi kemerdekaan di Hotel Des Indes, tempat tersebut sudah tutup. Untungnya, Laksamana Maeda mau menyediakan rumahnya sekaligus menjamin keamanan para pejuang ini untuk merumuskan naskah dan merencanakan seperti apa pembacaan proklamasi nantinya.
Sayangnya, setelah Indonesia merdeka, pasukan sekutu yang pengin Belanda kembali menjajah Indonesia melakukan sejumlah agresi militer. Laksamana Maeda sempat jadi korban aksi ini sampai dipenjara di Gang Tengah (Glodok). Dia baru dibebaskan pada 1947.
Setelah itu, Maeda memilih untuk pulang ke negaranya dan melepaskan jabatannya di Angkatan Laut Jepang. Meski sempat diadili oleh Pengadilan Militer Jepang karena dianggap membiarkan Indonesia merdeka sesuai dengan yang dijanjikan Jepang, dia diputus nggak bersalah.
Pada 1958, saat Sukarno berkunjung ke Jepang, dia kembali bertemu dengan Maeda. Keduanya dikabarkan tetap menjalin hubungan dekat meski jarang bertemu.
Selanjutnya pada 1973, karena dianggap berjasa besar dalam perencanaan proklamasi kemerdekaan, Maeda mendapatkan penghargaan Bintang Jasa Naraya dari pemerintah Indonesia. Rumahnya di Indonesia pun dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Enam tahun kemudian, tepatnya pada usia 79 tahun, Laksamana Maeda meninggal dunia. Dia dikenang sebagai warga Jepang yang sangat berjasa dalam kemerdekaan Indonesia. Namanya pun tertulis dalam buku sejarah Indonesia, selamanya. (Arie Widodo/E05)