Inibaru.id - Pada usia sekitar tujuh bulan, anak mulai memahami arti kata “tidak”. Namun ketika kemampuan bicara berkembang, banyak balita justru menjadikan kata itu sebagai “senjata” favorit, baik karena dia suka mengucapkannya atau sebagai bentuk penolakan.
Pada fase inilah orang tua sering menghadapi momen yang dipenuhi uji kesabaran, ketika si kecil mulai mendorong batasan, menguji kemandirian, dan mencoba mengenali dunia dengan caranya sendiri. Meski begitu, disiplin tetap menjadi bagian penting tumbuh kembang anak.
Pada tahun-tahun awal usia anak, disiplin pada dasarnya adalah bentuk proteksi, yang berfungsi untuk menjaga keselamatan anak. Kita mengajarkan bahwa oven panas nggak boleh disentuh, ekor kucing jangan ditarik, dan jalan raya bukan tempat bermain.
Namun, psikolog klinis Dr Kristin Carothers mengatakan, batasan yang konsisten nggak hanya dibuat untuk melindungi, tapi juga membentuk perilaku baik untuk masa depan. Batasan, lanjutnya membuat anak merasa aman.
Cara Mengajarkan Disiplin pada Balita
1. Membangun disiplin dari rutinitas
Ketika orang tua mengatakan perilaku apa yang diharapkan, anak mengetahui bahwa orang tuanya memegang kendali dan memberi arahan. Aturan juga menjadi pijakan awal untuk mengenalkan sudut pandang orang lain yang menjadi landasan awal empati.
Meski anak usia dua tahun belum sepenuhnya memahami perasaan orang lain, mereka bisa belajar bahwa berbagi itu baik dan meminjamkan mainan ke orang lain bisa membuat seseorang senang. Dr Kristin mengatakan, banyak orang tua sebenarnya sudah menerapkan batasan tanpa sadar.
“Salah satu cara paling alami untuk menciptakan batasan adalah melalui rutinitas harian anak,” jelasnya.
Anak mungkin belum mengetahui konsep waktu, tetapi mereka mengenali pola-pola tertentu. Misalnya, pola mau tidur adalah cuci tangan dan kaki, ganti baju, membaca buku, lalu tidur di tempat tidur sendiri. Rutinitas mengajarkan anak apa yang akan terjadi selanjutnya, sehingga nggak ada kejutan yang kurang nyaman.
2. Memberi teguran seketika
Dalam kehidupan sehari-hari, nggak semua kejadian dapat direncanakan. Misalnya, ada momen ketika anak memukul teman atau saudaranya. Jika hal ini terjadi, Dr Kristin mengungkapkan, orang tua perlu memberikan merespons seketika.
“Jika ada aturan yang ingin ditegakkan sebagai respons tertentu , kamu harus memperbaikinya saat itu juga,” jelasnya. "Namun, perlu dipikirkan bagaimana cara menegurnya."
Menurut Dr Kristin, cara menegur anak juga perlu diperhatikan. Alih-alih melarang dengan kata “jangan”, lebih baik memberi tahu anak apa yang harus dilakukan. Anak-anak, imbuhnya, tahu arti kata "tidak", tapi nggak tahu apa yang harus dilakukan setelah mendengarnya.
"Ketimbang bilang 'jangan', lebih baik beri alternatif yang langsung menjelaskan apa yang harus dilakukan seperti 'gunakan tangan dengan lembut' atau tolong 'jaga tanganmu tetap di dekat tubuhmu'. Car ini akan jauh lebih efektif," sebutnya.
3. Memperkenalkan time-out singkat
Jika anakmu sudah berusia tiga tahun, Dr Kristin menjelaskan, kamu sudah bisa mulai memperkenalkan konsep time-out singkat. Dia menyebutnya sebagai “jeda dari perhatian positif orang tua.”
"Misal, kamu ingin anak menjaga tangannya (dari memukul). Saat dia memukul kakaknya untuk meminta mainan, katakanlah, 'Kamu memukul kakak, jadi sekarang duduk di kursi ini sebentar!' sebagai bentuk time-out atau jeda,” paparnya.
Durasi jeda tersebut, imbuhnya, nggak perlu lama-lama. Cukup 1-3 menit. Setelah durasi jeda selesai, berikan arahan perilaku yang benar, seperti: Sentuh kakak dengan lembut, lalu mintalah mainan dengan baik-baik tanpa memukul.
4. Menggunakan konsekuensi alami yang aman
Kamu juga bisa menggunakan konsekuensi alami kepada anak, asalkan situasinya nggak membahayakan si kecil. Saat anak melompat di sofa, bisa jadi dia akan terjatuh. Jika terjadi, kamu bisa mengafirmasi perasaannya, lalu mintalah dia mengikutimu mempraktikkan duduk tenang di sofa agar nggak jatuh lagi.
Konsekuensi alami adalah apa yang terjadi lantaran melakukan sesuatu. Jika anak mencoret dinding, mintalah dia melihat hasilnya, lalu biarkan dia berusaha membersihkannya. Mungkin dinding nggak bersih sepenuhnya, tetapi menurut Dr Kristin, usaha itu akan memperkuat aturan.
5. Mengafirmasi usaha anak
Seperti disebutkan sebelumnya, konsekuensi alami bisa diterapkan selama situasinya aman. Beberapa situasi nggak bisa dijadikan sebagai konsekuensi karena membahayakan. Balita akan berlari di mana pun, bahkan ke jalan raya, tanpa memahami bahaya yang bisa mengancamnya.
“Kita tidak bisa berharap balita menetapkan batas untuk dirinya sendiri,” tegas Dr Kristin. "Ketika berjalan di trotoar, orang tualah yang harus memegang tangan anak, lalu afirmasilah usaha atau perilaku baik yang dilakukan buah hati," sebutnya.
Dr Kristin memberi contoh, kamu bisa mengatakan kepada anak: "Terima kasih sudah pegang tangan ayah!" atau "Kamu hebat karena tetap dekat dengan Ibu!”
6. Realistis dan jangan berekspektasi
Orang tua juga perlu memahami keterbatasan perkembangan anak. Mengharapkan balita duduk manis berjam-jam dalam acara sosial yang membosankan mereka sangatlah nggak realistis. Maka, bersikaplah realistis dan jangan berekspektasi terhadap anak.
"Pujian, aktivitas kecil, dan jeda bisa membantu, tetapi tempat yang menuntut sopan santun sempurna bukanlah pilihan tepat," tutur Dr Kristin.
7. Mengajarkan bahwa tantrum bukan 'senjata'
Balita dan tantrum acapkali nggak bisa dipisahkan. Pada usia ini, anak masih belajar berkomunikasi dan bahasa mereka belum cukup matang, jadilah tantrum. Seorang anak, Dr Kristin mengatakan, acap bertindak agresif karena belum mampu menyampaikan rasa frustrasi, marah, atau malu.
Terkadang, tantrum juga muncul karena anak sadar bahwa perilaku itu mendatangkan perhatian dan sering membuat mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Itulah sebabnya tantrum kadang perlu diabaikan, meski saat terjadi di muka umum terasa memalukan.
Begitu anak tenang, segera beri pujian. Dia memberi contoh, misalnya, dalam situasi anak tantrum lantaran kita menolak membelikan biskuit di sebuah supermarket, segera ajak bicara saat memungkinkan, misalnya ketika anak diam dari menangis.
"Kamu bisa bilang, 'Terima kasih sudah bilang ingin biskuit. Ayah juga suka biskuit. Kali lain, kalau kita ke supermarket lagi, kita bisa beli!' sembari melihat reaksinya,” kata Dr Kristin.
Jika tantrum berlanjut, biarkan saja. Jangan menyerah.
“Penting bagi anak untuk belajar bahwa ada kalanya kita mendapatkan apa yang dimaui, tapi ada kalanya tidak. Itu bagian alami dalam hidup,” simpulnya.
8. Memberikan kendali secara terbatas
Balita kadang memberontak lantaran ingin merasakan punya kontrol. Ini wajar karena mereka memang sedang belajar membuat keputusan sendiri. Sebagai orang tua, Dr Kristin mengatakan, kita sebaiknya membiarkan anak memiliki kendali atas dirinya sendiri, tapi batasannya tetap harus jelas.
"Anak boleh memilih permainan atau tayangan yang ingin ditonton, tetapi tidak berhak memutuskan berapa lama durasi dan waktu menontonnya, karena itu merupakan otoritas orang dewasa," jelasnya.
Menerapkan disiplin pada balita bukan berarti memberikan hukuman, tetapi tentang bagaimana membimbing, melindungi, dan mengajari mereka cara berperilaku sekaligus menunjukkan bagaimana dunia bekerja.
Dengan batasan yang konsisten, rutinitas yang jelas, serta respons yang tepat, orang tua bisa membantu anak tumbuh menjadi individu yang lebih aman, percaya diri, mandiri, dan siap menghadapi berbagai situasi dalam hidupnya pada masa mendatang. (Siti Khatijah/E10)
