Inibaru.id - Suhadi terlambat hari itu, membuatnya terpaksa hanya kebagian becak yang lawas dan jelek. Yang lain sudah dipakai kawan-kawan yang datang lebih awal. Konsekuensinya, dia harus memompa ban dan membersihkan rontokan-rontokan daun yang "menimbun" becak usang itu, membuat waktu nariknya jadi terpotong.
Dori, penarik becak lain datang lebih awal merespons kemalangan Suhadi dengan berkelakar, alih-alih menyemangati. Dia bilang, mending menganggur daripada naik si becak usang.
Suhadi tersenyum. “Jangan begitu! Becak jelek, belum tentu rezekinya jelek juga,” timpal Suhadi.
Semangat Suhadi agaknya memang tengah menyala, sejalan dengan tulisan di kausnya yang berbunyi “Semangat Bekerja”.
Nggak hanya Suhadi, semangat itu juga bisa saya lihat pada sebagian besar orang di penitipan becak itu. Melihat mereka begitu giat bekerja, sedih rasanya. Di depan sana, saya yakin para penarik becak itu akan menempuh jalan yang sunyi, tergerus modernitas dan pilihan moda darat yang kian bervariasi.
Suhadi mengetahui medan berat yang akan dilaluinya jika terus menempuh jalur sunyi tersebut. Namun, dia memutuskan bertahan. Matanya sempat berbinar saat bercerita semasa becak menjadi primadona.
"Jalan di mana saja, pasti ada yang memanggil," kenangnya, lalu tersenyum. Namun, nggak lama binar di matanya memudar. "Sekarang berbeda. Semakin lesu," keluh lelaki yang sangat suka tersenyum itu.
Bekas Pabrik Senjata
Berlokasi di Jalan Indragiri, Kelurahan Mlatibaru, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, Jawa Tengah, penitipan ini ala kadarnya saja, berdiri di sepetak tanah bekas pabrik senjata milik TNI yang sudah terendam rob dan jadi rawa-rawa.
Di lokasi itu ada tiga penitipan, masing-masing dimiliki oleh Mulyadi, Mukibyanto, dan Bagong. Ketiganya mengelola "bisnis" becak itu dengan cara yang berbeda. Ada yang sekadar penitipan, ada yang juga menyewakan becak. Satu becak bertarif Rp 6.000.
Obrolan antara Suhadi dan Dori terjadi di penitipan milik Bagong, pemain baru di dunia penitipan becak. Dua tahun lalu, dia membeli tempat itu setelah mendapatkan dana hibah. Tempat Bagong sebetulnya lebih cocok disebut persewaan becak, karenanya para penarik harus adu cepat untuk memilih becak terbaik.
Lebih lama dari Bagong, ada Mukibyanto yang hanya menampung empat unit becak yang bukan kepunyaannya. Dia memang hanya menyediakan tempat untuk menampung becak, bukan menyewakannya.
Nama terakhir adalah Mulyadi. Nggak kurang dari 30 tahun dia menggeluti usaha penyewaan dan penitipan becak. Maka, nggak heran kalau jumlah becak kepunyaannya jauh lebih banyak ketimbang yang lainnya. Sebelum di Mlatibaru, dia juga sempat berpindah-pindah tempat.
Di tempat Mulyadi, setidaknya ada 30 becak yang siap pakai. Selebihnya hanya becak bekas yang sudah rusak, nggak terpakai, dan dimakan semak belukar.
Menjadi penyedia becak selama puluhan tahun dengan puluhan becak, Mulyadi tahu betul pasang-surut para pembecak. Jauh sebelum moda darat kian variatif, dia mengatakan, becak cukup populer. Para penarik nggak perlu cemas menanti pelanggan.
Seperti Suhadi, Mulyadi juga mengambinghitamkan kehadiran ojek online. Menurutnya, para penarik becak kini mulai menyerah dan beralih profesi karena pekerjaan menjadi tukang becak nggak lagi bisa diandalkan.
“Kalau nggak punya pelanggan tetap, bisa berat. Sehari dapat Rp 50 ribu saja sudah berat,” ucap Mulyadi.
Berangkat Sangat Pagi
Kebanyakan penarik becak di Mlatibaru berasal dari Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Harus saya akui, semangat mereka sungguh luar biasa. Lantaran berasal dari luar kota dan nggak semuanya punya kendaraan, tentu mereka harus memulai hari sangat pagi.
Saya? Ehm, saya yang berpikir datang ke tempat mereka pukul 06.00 WIB sudah sangat dini, harus menelan kekecewaan karena sebagian penarik becak sudah bertolak mencari penghidupan.
Harto, salah seorang penarik asal Demak mengatakan, dia biasa berangkat sangat pagi untuk mengais rezeki. Profesi itu dilakoninya sejak 1981.
“Saya niat mau kerja, jadi ya sudah biasa,” tutur lelaki yang mengaku bangga lantaran berhasil menyekolahkan anaknya sampai tuntas dan kini menjadi guru.
Para penarik becak di Kota Semarang didominasi angkatan lama yang mayoritas sudah paruh baya. Menyoal profesi ini, tentu saja nggak banyak celah untuk membahas regenerasi. Saya sedih. Barangkali dalam beberapa tahun jalan menjadi pembecak memang bakal benar-benar sunyi.
Bertamu ke penitipan becak di Mlatibaru ini, saya seperti menyaksikan senja yang biru dan temaram. Barangkali, becak memang sudah pada titik yang digambarkan Joko Pinurbo dalam puisi “Senandung Becak”-nya, yakni sebuah perahu yang sendirian melawan badai, ombak, dan malam. (Audrian F/E03)