Inibaru.id - Pagi selalu saja terburu-buru di pusat Kota Lunpia. Jalanan penuh pekerja, diburu waktu, berbalur debu, di antara mesin-mesin kendaraan yang menderu-deru. Di antara mereka, ada saya yang ambil bagian.
Di rimba kota Semarang itu, di tengah pandemi yang belum juga usai, ada sekelompok pekerja yang rasanya nggak pernah absen dari pandangan saya. Bekerja sejak pagi-pagi sekali, merekalah para pembersih selokan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Semarang.
Mereka ada di gorong-gorong kota, berteman dengan sampah, an berkubang lumpur. Beberapa hari ini saya sengaja mengikuti cara kerja para "pahlawan dari selokan" ini. Selain selokan, sungai-sungai kecil juga menjadi tempat kerja mereka.
Pada Senin (21/9/2020), saya bertemu dengan Sumino (70) di Kali Berok. Ketika saya temui, sosok yang telah menjadi pembersih selokan sejak 1990-an itu sedang istirahat siang. Dia tengah membersihkan diri.
"Racun harus dilawan racun," celetuknya, mengetahui keheranan saya karena melihat dia yang bersih-bersih diri dengan air Kali Berok, alih-alih air bersih.
Sumino memang unik. Di tengah obrolan kami, lelaki paruh baya yang menjadikan pekerjaannya sebagai ibadah tersebut bahkan sempat berkelakar pada temannya yang mengeluhkan sampah yang nggak ada habisnya meski mereka bersihkan tiap hari.
“Itu keseimbangan alam," kata sosok yang mengaku mengakrabi segala jenis sampah dan bangkai di selokan tanpa merasa jijik, tapi sangat mewaspadai ular dan pecahan beling itu. "Kalau kalinya bersih, kamu nggak kerja!”
Berbeda dengan Sumino, Yudi yang baru sebulan menjadi pembersih sampah di sektor pusat kota mengaku semula sempat jijik. Namun, lantaran butuh pekerjaan, dia pun bersedia menjalaninya.
“Sampah dari selokan ini (kini) sudah seperti teman,” ujarnya.
Terdampak Pandemi
Rasionalisasi anggaran untuk mengatasi Covid-19 di Kota Semarang rupanya turut berimbas pada berkurangnya jumlah pasukan pembersih selokan ini. Kasi Drainase DPU Hisam Ashari, saat ini mereka mengutamakan pekerja lokal yang tinggal di Semarang.
Sebagai informasi, para pembersih selokan di Kota Semarang kebanyakan adalah pekerja lepas yang nggak terikat kontrak. Upah mereka menyesuaikan UMR dan indeks harga satuan Kota Semarang. Mereka meng-cover berbagai sudut di sekitar pusat kota.
Hisam menjelaskan, DPU membagi selokan dalam beberapa kategori, yakni titik banyaknya sampah, estetika kota, dan rawannya genangan. Saat ini, lanjutnya, Pemkot Semarang menginstruksikan DPU untuk sigap menangani semua laporan dan keluhan yang muncul dari berbagai media.
Saya sempat memperhatikan, sebagian pekerja selokan di Kota Semarang berusia paruh baya laiknya Sumino. Hal ini rupanya diiyakan Hisam. Dia menuturkan, orang-orang yang telah lama bekerja memang berusaha mereka pertahankan.
“Ada yang sudah bekerja bertahun-tahun lamanya,” akunya.
Ah, betapa mulia pekerjaan mereka! Tanpa kesigapan mereka, entah apa jadinya orang-orang di kota yang selalu tergesa-gesa ini saat mendapati pagi harinya dihadapi selokan mampet, jalan tergenang, atau sampah yang membludak di comberan.
Tak berlebihan kalau saya menyebut mereka para pahlawan dari selokan. Berkat mereka, kita bisa tidur tenang tanpa ada genangan! (Audrian F/E03)