Inibaru.id - Berwisata sejarah di Kota Semarang sejauh ini hanya berkutat di tempat-tempat yang itu saja, kalau nggak Lawang Sewu, Kota Lama, mentok juga Sam Poo Kong. Padahal ada banyak tempat bersejarah di Kota Semarang ini. Salah satunya, Sobokartti. Saya berniat mengetahui bagaimana keadaannya sekarang.
Sayangnya, saat saya sampai sedang nggak ada aktivitas latihan di sana. Tapi saya bertemu dengan Soetrisno dan Ahmad Nofal. Mereka adalah pengelola Gedung Sobokartti. Soetrisno kemudian mengaku kalau dia sudah dari 1986 menjadi penunggu gedung ini.
Soetrisno (76), sudah menjaga Gedung Soebokartti sejak 1984. (Inibaru.id/ Audrian F)
Gedung Sobokartti menurut catatan sejarah adalah gedung pertunjukan, Millens. Banar saja, ada loket pembelian tiket di situ.
“Itu loketnya sesuai tarif. Kalau yang tengah itu untuk VIP, sementara yang pinggir itu untuk harga yang lebih murah atau orang-orang biasa,” ujar Soetrisno sambil menunjuk, Kamis (14/11). Kemudian dia juga membeberkan kalau loket tiket tersebut terakhir beroperasi sekitar tahun 65-an. Lama banget ya, Millens?
Baca juga: Sobokartti, Gedung Pertunjukan Penyatu Golongan
Saya minta izin untuk memasuki Gedung Sobokarti. Di bagian dalam, saya melihat set gamelan di sisi kiri. Gamelan ini biasa dipakai buat latihan. Di tengah ruangan, kosong dan bersih. Bagian inilah yang menjadi panggung sementara bangku-bangku VIP tertata rapi di pinggir-pinggirnya.
Di sudut lain ada gamelan sepertinya sudah nggak terpakai lagi. Di belakang terpasang foto Mangkunegaran VII dan Thomas Karsten. Keduanya merupakan inisiator perkumpulan Sobokartti. Karsten juga yang menjadi arsitek gedung kesenian ini.
Loket karcis di Gedung Sobokartti. (Inibaru.id/ Audrian F)
Bukan Karsten namanya kalau nggak membuat orang kagum. Dengan piawai dia memadukan konsep panggung pertunjukan Jawa dan pementasan barat. Saya jadi membayangkan bagaimana hiruk-pikuk orang-orang zaman dahulu ketika menyaksikan pertunjukan di sini. Konon, di gedung ini kasta ditiadakan. Siapa pun bisa duduk di bangku VIP asalkan bisa membeli tiketnya. Catatan ini juga yang diutarakan Ketua Perkumpulan Seni-Budaya Sobokartti, Tjahjono Rahardjo.
“Nggak ada perbedaan kelas tentang siapa yang akan melihat pertunjukan di Gedung Sobokartti ini,” terang Tjahjono saat dihubungi lewat telepon, Jumat (15/11).
Menurut saya ini aneh. Kalau memang pengin menghilangkan penggolongan, kelas tiket harusnya sama. Kalau dipikir-pikir pastinya hanya kaum ningrat atau orang-orang londo yang sanggup membeli VIP kan? Anyway, apa pun alasannya gelaran kesenian gedung ini bisa memberi hiburan bagi rakyat yang hidupnya sengsara saat itu.
Saya kembali berkeliling. Ternyata tempat ini dibagi dua sisi. Di bagian kiri, tempatnya lengang. Hanya menjadi "gudang" barang-barang yang nggak terpakai. Di sebelah kanan digunakan untuk menaruh barang-barang perkakas pertunjukan dan kesenian.
Ruang proyektor yang sudah dipenuhi perkakas bekas. (Inibaru.id/ Audrian F)
Gedung Sobokartti ini juga memiliki ruangan proyektor yang digunakan untuk menonton film. Saya coba menengoknya. Ruangan tersebut harus dicapai dengan sebuah tangga. Gelap dan di dalamnya lagi-lagi ada perkakas kesenian yang sudah nggak terpakai.
Keluar dari gedung tersebut saya ditunjukkan sebuah pohon beringin oleh Ahmad Naufal. Kata dia di situlah para pemuda yang gugur dalam Pertempuran 5 Hari pernah dikebumikan.
Dalam bincang-bincang terakhir saya bersama Ahmad Naufal, dia membeberkan kalau Gedung Sobokartti ini adalah milik Perkumpulan Sobokarti. Segalanya digerakkan secara swadaya.
“Perkumpulan Sobokartti masih secara mandiri dalam mengelola gedung ini. Akhir-akhir ini Kota Lama direvitalisasi, tapi Sobokartti belum tersentuh,” ujarnya. Keaslian bangunannya akan terus kami jaga, pantang sekali untuk mengubahnya, bahkan memaku saja dilarang,” tutup Naufal.
Hm, sepertinya Sobokartti harus masuk list cagar budaya yang musti direvitalisasi Pemerintah ya, Millens. (Audrian F/E05)