Inibaru.id- Di di kompleks pondok pesantren di Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, belasan gubuk panggung berdiri. Gubuk berukuran sekitar 4 x 3 meter itu berderet-deret di pinggir jalan sempit di antara pepohonan. Beberapa lainnya, bertebaran tak beraturan di pinggir kali kecil dan kolam ikan. Ada yang masih di tanah pekarangan pondok, ada pula yang menumpang di pekarangan milik warga setempat.
Gubuk itu disebut uzlah. Uzlah adalah istilah santri untuk pengertian menyepi untuk mendalami ilmu. Dalam khazanah pesantren, uzlah adalah istilah untuk santri yang sudah diberi izin untuk mengasingkan diri. Tentu izin itu hanya diberikan oleh pengasuh utama pesantren yang menilai seorang santri sudah mencapai tahap tertentu untuk mendalami ilmu keagamaan tertentu.
Nah, pola belajar dengan mengasingkan diri itu diberlakukan di Pondok Pesantren (Ponpes) Metal Tobat Sunan Kalijaga. Ponpes tersebut terbilang unik. Pasalnya, tempat itu menerima santri dari bekas pemadat, pemabuk, bahkan pencoleng.
Baca juga:
Rayouf Al-Humedhi , Pencipta Emoji Berhijab yang Jadi Gadis Berpengaruh
Kisah tentang Suku Maya yang Muslim
Dikutip dari tulisan Muhamad Ridlo via Liputan6 (27/10/2017), suatu sore terlihat beberapa santri berusia belasan tahun sedang memasak di dapur. Cara memasaknya amat sederhana, nasi dikukus dalam alat bernama ketel. Ketel itu diletakkan di atas tungku yang dibuat dari tumpukan bata. Uzlah atau tempat pengasingan itu terletak di sisi barat dan selatan dapur putra, berada di belakang asrama pondok.
Pengasuh Pesantren Metal Tobat, KH Soleh Aly Mahbub menerangkan, gubuk atau pondokan uzlah dipakai untuk ber-khalwat atau mengasingkan diri bagi santri untuk sampai pada tahap tertentu. Hal itu tentu berbeda dengan pondok pesantren kebanyakan yang mewajibkan seluruh santrinya tinggal di asrama.
Meskipun menyepi juga berkaitan dengan ritus sufisme, KH Sholeh menyebut uzlah berbeda dengan pengertian pengasingan sufisme atau tasawuf yang menjadi akar berbagai aliran tarekat.
Uzlah adalah istilah khalwat agar berkonsentrasi mendalami ilmu tertentu. Misalnya, dalam tahap akhir para penghafal Alquran, penghafal Kitab Alfiyah Ibnu Malik, dan beberapa kitab klasik fikih di tingkat tertentu.
Lebih lanjut, dia menerangkan, secara prinsip, santri harus melewati berbagai tahap untuk diizinkan ber-uzlah. Tetapi, yang jelas, sebelum enam tahun tinggal di pesantren, santri harus tinggal di asrama.
Baca juga:
Masjid Kuno di Indonesia Dibangun Tanpa Menara dan Kubah
Alumni Al-Azhar Bikin Deklarasi Lombok
“Intinya sama, menyepi dan menjauhi keramaian. Tetapi tujuannya sedikit berbeda. Uzlah untuk mendalami ilmu yang sedang dipelajarinya. Untuk memahami, kadang membutuhkan tempat yang sepi, jauh dari gangguan,” kata lelaki yang akrab disapa dengan panggilan, Abah Soleh.
Namun, saat ini diakui oleh Abah Soleh, terjadi pula pergeseran uzlah. Tak hanya untuk mendalami ilmu, beberapa uzlah ditinggali oleh santri golongan tertentu. Misalnya, santri yang tergabung dalam grup musik "Solmet" alias solawat metal. Sebabnya, mereka sering berlatih, sehingga harus tinggal di tempat terpisah dari santri biasa. Dikhawatirkan, suara musik yang terlalu keras menganggu santri biasa.
Pesantren ini juga menerima calon santri yang sudah berkeluarga. Mereka pun ditempatkan di uzlah yang berukuran lebih besar. Ada pula, santri tua yang tinggal di rumah sang pengasuh. Ada pula, santri yang menuntut ilmu sembari bekerja.
Sejak pesantren tersebut didirikan pada 2000 lalu, hingga kini tercatat sudah 19 santri yang khotmil qur’an bil ghoib, atau hafal Alquran. Mereka terdiri atas 16 hafizah atau penghafal Alquran perempuan dan tiga santri lelaki. (EBC/SA)