Inibaru.id - Mungkin review Midway ini agak terlambat lantaran sudah sedari 8 November lalu tayang di Indonesia. Tapi lumayanlah untuk menjadi pertimbangan buatmu yang bingung mau nonton apa.
Sebelumnya, jauhkan anggapan bahwa film besutan Roland Emmerich ini merepresentasikan sejarah aslinya. Secara garis besar Midway memang berlatar pembalasan Amerika Serikat terhadap Jepang usai dipecundangi di Pearl Harbour. Pertempuran ini memang nyata adanya. Tapi, ini cuma film bikinan Paman Sam. Bisa saja ditambah sana, dipotong sini. Kalau kamu teliti selama pemutaran, kamu bakal menemukan keganjilan-keganjilan. Eits, bukan berarti film ini jelek ya.
Saat masuk ke plot awal film, saya disuguhi kronologis terjadinya perang Midway. Jadi, kamu nggak perlu nonton Pearl Harbour sebelumnya.
Lucunya, selama dua jam nonton saya nggak tahu siapa tokoh utamanya. Sebab sepanjang cerita nggak ada seorang tokoh yang ditampilkan secara dominan. Mungkin, tokoh-tokoh utamanya ada di masing-masing sektor seperti Laksamana Chester W. Nimitz (Woody Harrelson) yang cekatan dalam mengomando tentara Amerika baik intelijen, angkatan darat, laut, maupun udara. Kemudian Edwin Layton (Patrick Wilson) yang cermat saat menjalankan tugas intelijennya, dan Dick Best (Ed Skrein) yang gagah dalam memimpin angakatan udara saat mengebom kapal induk Jepang.
Tiap kontak senjata tampak nyata dan wajar. Sinematografinya juga keren. Visual effect-nya lumayan bikin jantung bergedup kencang sementara mata terpaku pada layar. Namanya juga Hollywood.
Adegan yang paling saya suka adalah saat Dick Best membawa pesawatnya menukik untuk mengebom kapal induk Jepang. Bom yang tadinya selalu salah sasaran, melalui pesawat Dick tersebut akhirnya berhasil. Sudut pandang dari kemudi pesawat juga turut menambah ketegangan. Coba film ini dikemas dalam 3D atau 4D. Mungkin satu bioskop bakal njerit-njerit.
Midway ini juga nggak lepas dari adegan khas film bertema peperangan lain yaitu beratnya melepas keluarga untuk maju berperang, bertanya-tanya apakah bisa berkumpul lagi, dan semacamnya. Unsur romantis yang bisa saya tangkap cuma sebatas itu. Barangkali sutradara nggak pengin merusak atmosfir ketegangan yang ada.
Film ini lumayan mengasyikkan, tapi di sepanjang film entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal. Saya nggak yakin tapi buat saya percakapan yang terjadi antartokoh terasa seperti terjadi pada era sekarang, bukannya 1942. Satu lagi, meskipun sang sutradara sudah berusaha mengangkat dari sisi Jepang, tetap saja Amerika sangat dominan. Tapi nggak usah baper. Midway cuma hiburan kok!
Nah, kalau kamu butuh film yang nggak butuh terlalu banyak mikir, mungkin Midway ini bisa jadi alternatif. (Audrian F/E05)