Inibaru.id - Ada satu pameo yang acap membuat kritikus film meradang, yakni "Film itu sederhana, kita yang sering membuatnya rumit". Yap, lantaran pelbagai teori dan interpretasi yang sering diungkapkan penonton, alih-alih menikmati film yang disajikan, nggak jarang penikmat film malah berumit-rumit ria.
Namun, mengkritik film nggak ada salahnya, termasuk ketika banyak orang mengapresiasi film Aruna dan Lidahnya lewat pelbagai fan theory di media sosial. Sejak tayang perdana pada 27 September lalu, film yang diangkat dari novel Laksmi Pamuntjak ini memang cukup menggelitik penikmatnya untuk menciptakan aneka fan theory, khususnya di Twitter.
Fan theory itu juga muncul dari ulasan banyak orang, baik melalui unggahan di blog maupun thread. Satu teori yang cukup menarik adalah bahasan mengenai color palette pakaian yang dikenakan Aruna dan kelekatan perasaan a.k.a. attachment antar pemain lewat empat gaya: secure, preoccupied (anxious), dismissive (avoidant), dan disorganized (ambivalent).
Bahasan tentang fan theory juga sempat mencuat dalam talkshow Aruna dan Lidahnya yang digelar di Gedung E Universitas Dian Nuswantoro Semarang, Rabu (3/10/2018). Zahid Paningrome, seorang peserta yang juga "pencipta" fan theory menjadi salah seorang pemantiknya.
Di hadapan Nicholas Saputra (pemeran Bono), Edwin (sutradara), dan Meiske Taurisia (produser), Zahid mengemukakan teorinya, mulai dari teori Big Bang hingga semiotika, yang sempat diulas mendalam dalam blog pribadinya. (Baca juga: Membincangkan “Aruna dan Lidahnya” di Semarang: Bersawala tentang Aruna Tanpa Aruna)
Zahid mengulas tentang dua mimpi yang dialami Aruna, salah satunya ketika dia memeras jeruk nipis lalu diarahkan ke lidah hingga belepotan ke pipi. Dia kemudian berkomentar bahwa rasanya asin. Zahid menyebutkan bahwa mimpi tersebut melambangkan fetish liar Aruna dalam kehidupan seksualnya.
Zahid. (Inibaru.id/Ayu S Irawati)
“Di Twitter ada beragam fan theory yang nggak ada di film-film Indonesia sebelumnya. Ada fan theory tentang adegan di Singkawang yang ada naga (barongsai, saat Aruna dan Faris berantem), adegan Pak Musa di kapal dan rumah sakit, atau teori yang saya tulis mengenai mimpi Aruna dan lidahnya. Film kayak gini itu ciri Mas Edwin sekali,” tutur Zahid.
Menanggapi hal tersebut, Edwin, sang sutradara, mengatakan bahwa hal demikian memang janggal jika dipikirkan dengan logika. Namun, lanjutnya, hal tersebut bakal menambah cita rasa film saat interpretasi dibebaskan.
“Karena film, mau sejelas apa pun, masih multitafsir. Itulah keindahan film. Apalagi ini kita tampilkan sedikit jebakan-jebakan film yang bisa ditemukan penonton,” tanggapnya.
Setali tiga uang, Meiske selaku produser, juga menanggapi fan theory sebagai sesuatu yang positif. Menurutnya, ini justru menjadi hal yang seru dan menarik.
“Misal ada 100 orang yang punya fan theory juga nggak apa-apa, karena interpretasi itu nggak hanya satu saja,” akunya.
Hm, penasaran dengan fan theory yang berkembang? Soba simak diskusi di Twitter dengan kata kunci “fan theory Aruna dan Lidahnya”.
Eits, tapi pembahasan tersebut bakal lebih seru kalau kamu sudah menonton filmnya! Yeah, siapa tahu kamu juga bisa menyumbang fan theory! Ha-ha. (Ayu S Irawati/E03)