Inibaru.id - Jemuran selalu identik dengan pakaian basah yang dijereng pada tali atau semacamnya agar kering. Namun, dalam Jemuran Puisi Syawalan di Boja pada Selasa (11/6/2019), alih-alih pakaian basah, tali justru diisi puisi-puisi yang ditempel pada kertas manila, lalu dijereng mirip jemuran.
Agar menarik dilihat, kertas berisikan puisi itu dibentuk pelbagai rupa, seperti buah-buahan, bulan sabit, kemeja, hingga daun. Puisi-puisi tersebut kemudian dijereng pada tali dengan bantuan penjepit. Hm, unik!
Adalah Sigit Susanto, pegiat sastra asal Boja, Kendal, Jawa Tengah, yang kini tinggal di Zug, Swiss, sang penggagas "jemuran puisi". Dia, dan sejumlah temannya yang juga menggemari sastra, telah menggelar jemuran puisi di pinggiran Danau Zug sejak 2011. "Ritual" itu mereka lakukan setiap Kamis pada Juni.
Nggak cuma puisi, Sigit, sapaan akrabnya, juga menyertakan atribut ke-Indonesia-an dalam "jemuran" itu, di antaranya motif batik, wayang kulit, dan lagu-lagu Indonesia.
Baca juga:
Dari Boja Sigit Susanto Bawa Sastra Susuri Dunia
Ketika Puisi Menyapa Masyarakat dari Rentangan Tali Jemuran
“Siapa saja bisa memetik dan membacakan puisi di jemuran tersebut. Jika suka puisinya, dibawa pulang juga nggak masalah,” tuturnya saat ditemui Inibaru.id pada gelaran Jemuran Puisi Syawalan.
Sigit Susanto bersama jemuran puisinya di Zug, Swiss. (Tembi.net)
Dari Swiss, Sigit membawa ide tersebut ke Indonesia. Dia menjemur puisi di Tegal, Pontianak, dan tentu saja ke tanah kelahirannya di "Lereng Medini" alias Boja, Kendal. Di Boja, dirinya berkolaborasi dengan Komunitas Lereng Medini (KLM).
Bersama KLM, sudah tiga kali Sigit menggelar jemuran puisi, yakni di Balai Desa Boja, Syawalan Boja pada 2017, dan Jemuran Puisi Syawalan 2019.
Dari Penyair Jalanan
Mengenai jemuran puisi, Sigit mengaku terinspirasi dari dua aksi puisi jalanan di Wina, Austria, dan Konstanz, Jerman.
“Di Wina, ada penyair bernama Helmuth Seethaler yang sering membentangkan puisi pada potongan kertas kecil di bawah gedung-gedung tua,” ujar penulis buku Kesetrum Cinta ini, yang juga menambahkan bahwa aksi Helmuth itu sudah berlangsung lebih dari 30 tahun.
Kemudian, inspirasi kedua, lanjutnya, berasal dari Hans-Jürgen Gabel, seorang penganggur dari Jerman yang mengamen puisi di Kota Konstanz dengan berpuisi tanpa teks.
“Berangkat dari pengalaman aksi puisi jalanan itulah, kami di Swiss melakukan hal serupa, ungkap Sigit, "Menggelar puisi di pinggir Danau Zug, juga mencoba mempraktikannya di Boja seperti saat ini."
Baca juga: Ketika Puisi Menyapa Masyarakat dari Rentangan Tali Jemuran
Sementara itu, Umi Kholifah, alumnus SMA N 1 Boja yang hadir dalam gelaran Jemuran Puisi Syawalan berharap, acara seperti ini terus berlanjut.
“Saya senang dengan puisi, makanya datang ke sini dan ikut membaca salah satu puisi yang dipamerkan," kata dia.
Gadis 20 tahun itu berharap, acara semacam itu bisa lebih sering digelar. Wah, sepakat dengan Mbak Umi Kholifah deh! Semoga lebih banyak lagi puisi-puisi yang digantung di jemuran! Ha-ha. Bercanda! (Audrian F/E03)