Inibaru.id - Menurut saya skena hip-hop Indonesia sedang naik-naiknya. Banyak musikus hip-hop bermunculan dan menjadi idola baru. Sebut saja Rich Brian yang merangsek panggung internasional, Ariel Nayaka yang digaet Def Jam (label rekaman hip-hop legendaris) cabang Asia Tenggara, dan banyaknya musikus muda lokal yang mencuat seperti Joe Million, Tuan Tigabelas, Rand Slam, dan Pangalo yang kian eksis, kayaknya klaim saya nggak berlebihan kalau melihat mereka tengah menjadi "fenomena".
Tapi, apa kamu tahu kalau di Semarang terdapat kelompok anak muda yang berkarya dengan medium hip-hop?
Namanya 024 Streets, tongkrongan para MC (sebutan lain dari rapper) dan beatmaker di Semarang. Kalau kamu seorang hip-hop heads asal Semarang, pasti mengenal nama Malik Ros, Luseta, Mahranazih, dan Aknostra. Mereka adalah bagian dari kelompok ini. Mendengar nama-nama tersebut, saya langsung haqqul yaqin bahwa 024 Streets adalah kolektif hip-hop.
Baca Juga:
Zine yang Masih Memikat Generasi Muda"Kami sebenarnya kolektif, bukan kolektif hip-hop. Musik yang dominan di 024 Streets sebenarnya black music," ucap frontman 024 Streets Malik Ros, Sabtu (29/2), menghancurkan imajinasi saya. Nggak hanya hip-hop, kabarnya kolektif ini juga sedang menggaet dan menggodok musikus jazz, blues, serta RnB di Semarang yang akan dirilis rekamannya tahun ini.
Kolektif ini nggak besar, Millens, hanya beranggotakan sekitar selusin orang. Meski begitu, kelompok ini nggak boleh dipandang sebelah mata. Pada 20 Februari lalu, Malik Ros merilis album penuh dengan tajuk Death of An Angryman. Pada 31 Januari 2020, 024 Streets mengadakan gig yang mendatangkan tiga rapper dan satu DJ asal Bandung di Crobar, juga pernah mengadakan acara hip-hop tahunan di Semarang, Semarang Banjir dari 2014-2016.
Pasca-Semarang Banjir terakhir, 024 Streets sempat vakum setahun. Bukan tanpa sengaja, hiatus ini bertujuan untuk memancing kelompok-kelompok lain mau bersaing dan berkarya. FYI, 024 Streets yang terbentuk pada 2010 ini bisa dibilang menjadi pionir kelompok-kelompok hip-hop di Semarang.
Soal iklim kesenian di Semarang yang katanya “kuburan seni” ini, Malik bersama kolektifnya nggak ambil pusing. Dia percaya bahwa kemampuan yang dimiliki dan konsistensi berkarya adalah bensin untuk berkembang.
"Kalau Semarang dibilang kuburan seni, biarkan kita buat orang datang untuk berziarah. Kalau memang dianggap mati oleh seniman, let me be the zombie," ucapnya tegas.
Bagaimana, kamu sudah terinspirasi untuk berani berkarya, Millens? (Gregorius Manurung/E05)