BerandaPendidikan
Sabtu, 21 Apr 2017 17:03

KARTINI, PAHLAWAN PENUH KONTROVERSI

pahlwan wanita(Foto:strategidanbisnis)

inibaru.id-Setelah ditetapkan oleh presiden soekarno dengan surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional ke-23. Selain itu, hari lahirnya pada 21 April diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Sejak saat itu hingga kini tiap 21 April seluruh masyarakat Indonesia “ramai” memperingatinya. Baik di sekolah-sekolah, desa-desa maupun di lingkungan masyarakat. Bahkan sering kita lihat, tidak jarang diantara mereka menyajikan berbagai perlombaan unik seperti menghias tumpeng, memasak, pertunjukkan fesyen kebaya, baca puisi dan perlombaan lain untuk memeriahkan peringatan hari Kartini tersebut.

Berbagai gugatan

Penetapan status Kepahlawanan Kartini ternyata tidak sepenuhnya mendapat apresiasi positif dari masyarakat luas. Ketetapan ini mengundang kontroversi dari berbagai pihak. Sehingga muncul sentimen bernada nyinyir seperti, “mengapa harus Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?”, dan lain sebagainya.  

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988.

Para penolak status kepahlawanan kartini menilai bahwa masih banyak perempuan di pelosok nusantara yang lebih layak mendapat gelar kepahlawanan dibanding Kartini. Seperti Dewi Sartika dari Bandung dan Rohana Kudus dari Minang, Martha Tiahahu, Malahayati terutama Cut Nyak Din dari Aceh. Cut Nyak Din merupakan salah seorang tokoh pejuang wanita paling terkenal. Seorang pejuang wanita yang tidak pernah mau tunduk kepada Belanda yang sepanjang hidupnya tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. 

Selain itu masih banyak anggapan lain terkait stigma yang di lekatkan pada Kartini. Kartini mengkhianati Indonesia karena melakukan konspirasi dengan Belanda. Hal ini disebabkan karena Kartini sering bertukar gagasan dengan teman korespondensinya Mr dan Mrs Abendanon dari Belanda. Demikian isu agama yang dikembangkan oleh para penolak status Kepahlawanan kartini.

Sedikit memaksakan sebenarnya, jika kartini yang belajar bersama orang Belanda dinilai pengkhianatan, bagaimana dengan Syahrir, Tan Malaka, Soekarno, Hatta yang juga menuntut Ilmu dari Belanda?

Mencoba menganalisis sentimen negatif yang muncul, latar belakang masing-masing tokoh  barangkali dapat dijadikan penengah pertentangan tersebut.

Cut Nyak Din lahir dan tumbuh besar di Aceh. Di daerah Aceh perempuan ikut turun dalam pertempuran merupakan hal yang wajar. Sehingga perbedaan sangat tampak, bahkan jauh sebelum Cut Nyak Din muncul, sudah ada salah seorang tokoh perempuan yang menjadi pimpinan daerah yaitu Malahayati.

Keadaan yang hampir sama dialami Rohana Kudus. Rohana lahir sebagai perempuan minang, tempat di mana perempuan begitu diistimewakan dan justru laki-laki yang menuntut hak yang setara.

Latar belakang ini sangat kontras dengan yang dihadapi Kartini. Dia lahir dan besar dalam suasana feodal yang kental di mana kaum perempuan mendapat diskriminasi yang luar biasa. Tidak bisa leluasa mengembangkan sisi intelektualitasnya sebagaimana laki-laki.

Rasanya tidak etis jika terus memperdebatkan persoalan tersebut. Yang terpenting saat ini yakni melanjutkan perjuangan para tokoh terdahulu. Masih banyak persoalan yang belum selesai hingga saat ini. Indonesia secara umum masih membutuhkan sosok perempuan seperti Kartini yang tanpa lelah memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dari sikap diskrminatif masyarakat dibawah cengkraman budaya patriarkhi. (na)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024