Inibaru.id – Raksasa itu tumbang juga. Sempat berstatus sebagai perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal sebagai Sritex pada Rabu (23/10/2024) kemarin dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, Jawa Tengah.
Putusan PN Semarang mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon yang merupakan salah satu debitur PT Sritex yang meminta pembatalan perdamaian untuk kasus penundaan kewajiban pembayaran utang yang sebelumnya sudah disepakati. Akhirnya, perusahaan ini pun dianggap lalai memenuhi kewajiban pembayaran utang tersebut dan dinyatakan pailit, deh.
“Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada Januari 2022. Selanjutnya, kurator yang akan mengatur rapat dengan para debitur,” ucap Juru Bicara PN Niaga Semarang Haruno Patriadi sebagaimana dinukil dari Antara, Rabu (23/10).
Meski begitu, kisah Sritex bermula puluhan tahun yang lalu, tepatnya tatkala pemerintahan Orde Lama Indonesia berganti menjadi Orde Baru. Pada 1966, H.M. Lukminto mendirikan perusahaan kecil yang fokus menjual kain di Pasar Klewer, Solo.
Nggak butuh waktu lama, pada 1968, usaha ini membuka pabrik cetak pertamanya. Di pabrik itulah, kain putih dan berwarna mulai diproduksi. Sepuluh tahun kemudian, Sritex sudah berstatus perseroan terbatas dan semakin berkembang. Pada 1982, mereka membuka pabrik tenun, Millens.
Bahkan pada 1992, Sritex mampu membuat pabrik yang mengombinasikan pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana sekaligus. Bisa dikatakan, sejak saat itulah, Sritex sudah berstatus sebagai salah satu pelaku industri tekstil terbesar di Indonesia.
“Di dalam negeri, Sritex pada 1990-an itu mendapatkan orderan seragam batik Korpri, ABRI, dan Golkar,” tulis Tempo dalam Prahara Orde Baru yang terbit pada 2013 lalu.
Nggak hanya mulai menguasai pasar tekstil dalam negeri, pada 1994, Sritex melakukan ekspansi ke luar negeri. Mereka bahkan menjadi penyuplai seragam militer bagi tentara Jerman dan NATO (organisasi militer gabungan negara-negara Atlantik Utara). Bahkan, sejumlah jenama fesyen internasional seperti Guess dan H&M mendapatkan suplai kainnya dari Sritex!
Meski Indonesia dilanda krisis moneter parah pada 1998, nyatanya Sritex mampu bertahan dan bahkan terus berkembang. Tapi, pandemi Covid-19 dan banyaknya utang yang sudah eksis sebelum pandemi bikin perusahaan ini kalang kabut.
Pandemi bikin permintaan global atas produk tekstil anjlok. Penyebabnya tentu saja dari berkurangnya aktivitas ekonomi dan berbagai pembatasan perjalanan kala itu. Ditambah dengan sulitnya mencari pasokan bahan baku, proses produksi Sritex kala itu sangat terganggu. Per 2021 saja, perusahaan ini mencatat kerugian bersih mencapai Rp16,76 triliun!
Ditambah dengan adanya utang yang nilainya juga sampai triliunan Rupiah yang sudah ada sejak sebelum pandemi membuat perusahaan ini sulit bernapas. Meski pandemi sudah berakhir, mereka kesulitan membayar utang-utang tersebut dan akhirnya bikin Sritex yang sempat berstatus sebagai perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini akhirnya berstatus pailit.
Cukup mengejutkan ya kabar tentang keruntuhan Sritex. Jadi kepikiran ada berapa banyak karyawan yang akhirnya harus kehilangan pekerjaan akibat hal ini di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang juga masih belum baik-baik saja. (Arie Widodo/E05)