inibaru indonesia logo
Beranda
Adventurial
Sepenggal Cerita Bagaimana Warga Desa Menyikapi Pandemi Corona
Rabu, 13 Mei 2020 13:40
Penulis:
juliadewik
juliadewik
Bagikan:
Persiapan penyemprotan disinfektan tiap Minggu. (Inibaru.id/ Julia Dewi Krismayani)

Persiapan penyemprotan disinfektan tiap Minggu. (Inibaru.id/ Julia Dewi Krismayani)

Bagaimana warga desa menyikapi pandemi corona? Hm, nggak sedikit yang abai, tapi banyak juga yang terlalu berlebihan melihatnya

Inibaru.id – Sudah sejak awal April Thoriq memutuskan pulang kampung ke Desa Teguhan, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Namun, nggak ada yang meminta suami dari Wartiyem itu memeriksakan diri kendati berasal dari zona merah corona, Kota Semarang.

Di rumah, Thoriq juga nggak melakukan islolasi mandiri. Kelonggaran itu seolah berbanding terbalik dengan nasib mendiang perawat RSUP Kariadi Semarang yang jenazahnya ditolak warga saat hendak dikubur di desa tempat tinggalnya lantaran diduga meninggal karena Covid-19.

Yap, di desa, penanganan pandemi corona memang cukup beragam. Pada satu sisi, jiwa gotong royong orang desa memang patut diacungi jempol. Namun, tanpa pemahaman yang benar, terkadang sifat itu justru merugikan, misalnya kasus penolakan jenazah penderita Covid-19 di sekitar kita.

Masih di desa yang sama dengan Thoriq, Kepala Desa Teguhan, Karsono, menuturkan, belum lama ini respons negatif sempat ditunjukkan sejumlah warga di desanya lantaran mengetahui tetangganya berstatus ODP dan tengah menjalani isolasi mandiri.

“Kasihan mereka yang ODP! Orang-orang nggak tahu, tapi sudah ngomong positif corona, padahal belum tentu,” kata dia. "Jadi, memang harus diberikan pemahaman kepada warga desa."

Menerapkan Sejumlah Program Pencegahan

Selain memberi pemahaman, Karsono sebagai pemimpin desa juga menerapkan beberapa program pencegahan, dengan azas gotong royong, yang dilakukan tiap akhir pekan. Secara swadaya, dia juga mendorong warga untuk menyediakan tempat cuci tangan di depan rumah masing-masing.

Terus, kegiatan yang menghadirkan kerumunan di Desa Teguhan pun telah resmi ditiadakan, termasuk yasinan dan barzanji. "Sudah ada aturan, tapi beberapa warga masih ndablek, kadang masih bikin kerumunan," tutur lelaki yang akrab disapa Sono tersebut.

Hingga saat ini, Sono belum berencana melakukan lockdown lokal. Menurutnya, selama warga hanya beraktivitas di dalam lingkup desa, risiko penularan corona cukup rendah.

"Kalau pun mau keluar rumah," dia melanjutkan, "warga harus mengenakan masker."

Instruksi itu sejalan dengan yang dilakukan Sukardi. Warga Desa Teguhan yang masih harus bekerja ke luar desa itu nggak lupa selalu mengenakan "perisai" saat hendak bekerja. Agar aman, dia berusaha menjaga imunitas tubuh, pakai masker, dan menghindari kerumunan.

“Yang penting selalu cuci tangan, pakai masker, dan jaga imunitas badan. Terus, nggak kumpul-kumpul,” ujarnya.

Nggak hanya menjaga diri, Sukardi pun secara sukarela bakal menegur jika ada orang yang masih berkerumun di desanya. Bahkan dirinya mengaku sempat berniat menjadi sukarelawan untuk corona, kendati akhirnya dilarang sang anak.

Yap, desa dan kota memang punya karakter yang berbeda. Cara keduanya menghadapi pandemi corona pun pasti bakal jauh berbeda. Gimana dengan desamu, Millens? (Julia Dewi Krismayani/E03)

Komentar

inibaru indonesia logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Social Media

A Group Partner of:

medcom.idmetrotvnews.commediaindonesia.comlampost.co
Copyright © 2024 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved